Pada tahun 1479 Kerajaan Majapahit hancur karena adanya Kerajaan
Demak (Raden Patah dan
Wali Sanga). Pada tahun
1486, Pati yang merupakan
Lereng gunung Muria,
masih merupakan hutan
belantara. Pada suatu hari,
Sunan Muria pulang dari
Sarasehan (pertemuan) di
padepokan Sunan Ngerang.
Sesampainya di barat kota
Pati, sekitar jam 3 sore
atau waktu ashar,
kebetulan di tepi hutan
tadi terhalang sungai yang
sedang banjir. Sunan Muria
mau menyeberang, tetapi
tak ada perahu. Lalu
beliau mengadakan
sayembara, barang siapa
yang bisa
menyeberangkannya kalau
laki-laki akan ia jadikan
sebagai saudara
sinorowedi (saudara sejati)
kalau perempuan akan ia
jadikan istri.
Kebetulan di sebelah
baratnya ada seorang
wanita yang sedang
menggembalakan kerbau
bernama Dewi Sapsari
putri Ki Gedhe Sebo
Menggolo. Setelah
mendengar sayembara
tersebut, Dewi Sapsari
dengan menunggang
kerbau menyeberang ke
timur. Lalu ia
menyeberangkan Sunan
Muria. Sesampai di tepi
sungai sebelah barat,
Sunan Muria menepati
janjinya. Ia lalu ingin
bertemu orang tua dari
Dewi Sapsari dan akan
menyuntingnya sebagai
istri. Lalu Sunan Muria
menikahi Dewi Sapsari.
Sepeninggal beliau pulang
ke padepokan Gunung
Muria, Dewi Sapsari hamil.
Lalu ia melahirkan seorang
putra dan diberi nama
Raden Bambang Kebo
Nyabrang, sesuai
pertemuannya dengan
suaminya yaitu Sunan
Muria. Setelah dewasa,
anak itu menanyakan siapa
sebenarnya ayahandanya
itu kepada kakeknya. Lalu
kakeknya berkata kalau ia
masih memiliki keturunan
dengan Sunan Muria yang
ada di padepokan Gunung
Muria.
Setelah mendengar
hal tersebut, R. Bambang
Kebo Nyabrang pergi
berangkat ke Gunung
Muria. Sesampainya di
padepokan, ia bertemu
dangan Sunan Muria.
Tetapi Sunan Muria tidak
mudah percaya dengan
anak itu. Lalu Sunan Muria
memerintah Raden
Bambang Kebo Nyabrang
untuk membawa Pintu
Gerbang Majapahit ke
hadapannya kalau ia mau
diakui sebagai anak. Lalu
berangkatlah R. Bambang
Kebo Nyabrang ke Bajang
Ratu yang merupakan
bekas Kerajaan Majapahit.
Yang sekarang menjadi
Kota Trowulan Kabupaten
Mojokerto Jawa Timur. Ia
harus segera berangkat
karena ia hanya diberi
waktu 1x 24 jam.
Di lain tempat, yaitu di
padepokan Sunan Ngerang,
terdapat salah seorang
muridnya yang bernama
Raden Ronggo yang ingin
menyunting putri Sunan
Ngerang, yang bernama
Roro Pujiwat. Roro
Pujiwat mau diperistri
apabila Raden Ronggo
bersedia memboyong Pintu
Gerbang Majapahit ke
padepokan. Lalu R.
Ronggo pun berangkat ke
bekas Kerajaan Majapahit.
Tetapi, ia kecewa karena
sesampainya di sana
barang tersebut sudah tak
ada (sudah diboyong oleh
R. Kebo Nyabrang). Lalu
Raden Ronggo segera
mengejarnya ke arah
barat. Sesampainya di
barat kota Pati, R. Rongo
masuk kawasan hutan.
Disana ia melihat pohon
Kenanga yang berbentuk
mirip kurungan(sangkar).
Kemudian ia menamai dukuh
tersebut dengan nama
Sekar Kurung. Lalu ia
melanjutkan misinya untuk
mengejar R. Kebo
Nyabrang.
Dan ia pun
menemukan R. Kebo
Nyabrang yang sedang
istirahat. Pintu itu pun
dimintanya. Tetapi tidak
diberikan oleh R. Kebo
Nyabrang. Akhirnya timbul
peperangan. Dalam
peperangan tersebut,
penyangga pintu tersebut
tercecer sehingga tempat
tersebut di beri nama
“Njelawang” (Ganjel
Lawang). Kemudian mereka
menuju ke barat saat itu
jam dua belas siang saat
semua orang harus
beristirahat dan
melaksanakan sholat
Dhuhur. Maka tempat
tersebut diberi nama
dukuh “Nduren” (samu
barang kudu leren).
Mereka bertarung
selama 35 hari. Lalu
Sunan Muria turun ke
arah timur. Ia pun melihat
dua orang bertarung
dengan jelas. Dalam Bahasa
Jawa, jelas diartikan
“cetho welo-welo”, sehingga
tempat tersebut diberi
nama Dukuh Towelo/
Trowelo. Lalu Sunan Muria
turun ke tempat kedua
orang tersebut bertarung.
Lalu beliau berkata “Wis
padha lerena sak kloron
padha bandhole”. Lalu
berhentilah kedua orang
tersebut bertarung.
Sehingga tempat tersebut
hingga sekarang di namai
dukuh “Rendhole” (sak
kloron padha bandhole).
Sunan Muria pun lalu
mengakui R. Kebo
Nyabrang menjadi anaknya.
Dan beliau menyuruh
anaknya tersebut untuk
menjadi penjaga gerbang
ini. Setelah Sunan Muria
berkata
“jaganen !!” (jagalah) maka
ia pun langsung meninggal
dan hilang nyawanya
karena sebagai seorang
penjaga harus tidak
terlihat.
R. Ronggo diberi
“katek“ oleh Sunan Muria
untuk dibawa ke
padepokan. Tetapi
sesampainya di sana Roro
Pujiwat tidak menerimanya.
Raden Ronggo pun marah
dan mengejarnya hingga ke
barat. Sesampinya di
sungai Juwan Roro
Pujiwat berhenti. R.
Ronggo yang marah lalu
melempar katek tersebut
kearah Roro Pujiwat.
Roro Pujiwat meninggal.
Katek tersebut hilang
seperti kilat. Sehingga
sampai sekarang dinamai
“Segelap”.
sumber: https://www.facebook.com/groups/53519909820/permalink/10151522457939821/