Sambil berbonceng dengan teman, motor melaju dengan kecepatan sedang. Dalam kesempatan seperti ini, saya sempatkan berbincang-ringan di atas kuda besi dengan semilir angin malam yang mengiringi sepanjang jalan. Saya berceloteh “lihatlah, di musim lebaran kali ini jalan-jalan di desa kita sudah mulai padat kendaraan roda empat dengan berbagai model variasi—ada yang terkini hingga terjadul—sepertinya ada kemajuan ekonomi di sekitar kita”
“Benar, saya berhitung di kanan-kiri jalan dari tadi hampir semua rumah sudah ada mobilnya” sahut temanku sambil berkendara. Tentu tidak berhitung dengan serius karena bisa berbahaya, hehe.
“Beginilah keadaan wajah desa jika kaumnya yang datang dari urban sudah kembali. Masing-masing ingin berusaha terlihat berhasil, memperlihatkan kemandirian dan status sosial berkat usaha di tanah perantauan” sahutku.
“Memang wajar jika hal itu terjadi, pasalnya semua orang ingin berhasil bukan? Hingga dalam kegiatan bersilaturrahim lebaran seperti ini, banyak angpau yang dibagikan—utamanya kepada anak-anak. Tapi saya khawatir jika ini akan berdampak buruk pada perspektif kita kedepannya. Yang seperti apa?”
*
Perbincangan tadi berlanjut hingga pembahasan yang mendalam akibat pertanyaan yang terakhir yakni “perspektif buruk seperti apa?” bagi yang lahir di tahun 90-an pasti pernah merasakan saat-saat lebaran berkunjung kesana-kemari dengan senang hati karena adanya aneka jajanan lebaran yang disediakan oleh tuan rumah. Selain karena bertujuan untuk saling meminta-maaf dan memaafkan, kami dengan sergap mengunjungi satu-persatu rumah yang kami lewati dengan senang hati.
Namun, hari ini kita melihat suatu hal yang berbeda. Anak-anak sudah memiliki sudut pandang yang berbeda tentang bersilaturrahim saat lebaran. Adanya pemberian angpau atau dalam bahasa Jawanya adalah ‘wisit’ membuat mereka menjadi salah kaprah dalam memaknai silaturrahim saat lebaran. Anak-anak bersilaturrahim tidak karena ingin mempererat jalinan ukhwah Islamiyah, melainkan karena adanya wisit yang diberikan oleh tuan rumah. Diperparah lagi dengan adanya dorongan yang diberikan oleh orang tua untuk meminta-minta wisit. Mengapa kita mendidik anak kita menjadi pengemis?
Tidak menyalahkan
Sayapun tidak menyalahkan dalam pemberian wisit kepada anak-anak, karena itu adalah hak pribadi setiap orang. Orang boleh saja berbagi. Masalahnya kita harus memiliki sudut pandang yang benar dan bijaksana dalam setiap aktivitas. Tidakkah kita berpikir bahwa mendorong anak-anak hanya untuk mencari wisit hanyalah pengejewantahan dari ekspansi materialisme yang kian tak terbendung? Haruskah kita bersaudara memang karena materi (uang)?
Kalau sudah seperti ini, mari kembali merenung apakah yang kita jalani selama ini sudah pada rel yang benar? Atau malah sebaliknya? Coba tengok saja di sosial media, yang pamer harta, benda atau yang bersifat materialisme pasti akan lebih terkenal dibanding yang tidak.
*
Motor sudah menyalakan lampu sign kiri untuk segera menepi dan berhenti di depan tukang bakso. 15 menit terasa 3 menit dalam berkendara akibat perbincangan serius yang kami lakukan. Ah sudahlah, mari segera pesan bakso karena perut sudah lapar—diberi ya alhamdulillah, tidak ya tidak masalah—karena yang terpenting adalah niat kita dalam bersilaturrahim itu baik, karena Allah (Lillahi ta’ala). Siapa yang bisa membaca niat? Diri anda sendiri dan Allah SWT.