Perayaan Sedekah Bumi Desa Sirahan Sebagai Upaya Melestarikan Warisan Budaya
CLUWAK, PATINEWS.COM
Desa Sirahan, Kecamatan Cluwak, Kabupaten Pati, kembali menggelar tradisi Sedekah Bumi yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakatnya. Tradisi ini tidak hanya menjadi wujud syukur kepada Allah SWT atas hasil bumi, tetapi juga sarana pelestarian budaya yang kaya akan nilai-nilai lokal dan kearifan masyarakat Jawa.
Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, sedekah bumi di Desa sirahan diselenggarakan saban bulan Apit (Dzulqo’dah), tepatnya jatuh pada Senin Pahing. Sedekah bumi ini dimulai dengan berbagai macam prosesi. Pada malam Jumat Wage sebelumnya dilaksanakan “Manganan,” yakni doa bersama dan tahlil di tempat ibadah dengan membawa nasi besek untuk dimakan bersama sebagai bentuk doa keselamatan dan penghormatan kepada leluhur.
Selanjutnya, di area Punden Mbah Bali diadakan pagelaran Langen Beksan, sebuah kesenian tradisional yang menjadi bagian penting dalam menjaga kelestarian budaya lokal. Pada malam senin menjelang perayaan sedekah bumi digelar pengajian umum KH. Ismail Mashudi dari Pati yang dilaksanakan di halaman Balai Desa Sirahan.
Puncak perayaan ditandai dengan arak-arakan gunungan atau “Jembul” yang dihias dengan hasil bumi, diiringi karnaval budaya yang melibatkan seluruh warga desa pada hari senin pukul 13.00. Pada saat yang sama juga dimulai pagelaran wayang kulit Wahyu Budoyo yang berlangsung selama sehari semalam, menampilkan seni tradisional yang sarat dengan pesan moral dan spiritual.
Petinggi Desa (Kepala Desa) Sirahan, Bapak Sutiyono, menjelaskan bahwa Sedekah Bumi merupakan bentuk shodaqoh hasil bumi yang mengandung makna syukur atas rejeki yang diberikan oleh Allah SWT. Tradisi ini tidak hanya diwariskan secara turun-temurun, tetapi juga menjadi media edukasi untuk generasi muda agar tetap mencintai dan melestarikan budaya lokal di tengah derasnya globalisasi dan modernisasi yang cenderung menggeser minat mereka ke budaya barat.
“Desa Sirahan dikenal dengan semboyan “Gemah Ripah Loh Jinawi” menunjukkan bagaimana tradisi Sedekah Bumi dapat menjadi perekat sosial dan identitas budaya masyarakat. Melalui pelaksanaan yang melibatkan seluruh warga, tradisi ini menumbuhkan rasa empati, solidaritas, dan kebersamaan yang kuat,” ungkapnya.
Pada sedekah bumi kali ini, ada 5 gunungan atau jembul hasil bumi dari masing- masing RW yang diarak keliling desa.
Menurutnya, warga sangat nyengkuyung bareng terkait dengan sedekah bumi ini. Bahkan, per KK memberi kan swadaya Rp 100 ribu dan terkumpul sekitar Rp 78 juta untuk mensukseskan jalannya acara.
“Hasil dari swadaya masyarakat ini, kemudian digunakan untuk membuat berbagai acara. Termasuk wayang, pengajian dan pagelaran Langen Beksan,” jelasnya.
“Kami juga ingin menumbuhkan minat dan bakat masyarakat dengan melibatkannya dalam pelestarian budaya ini, bahkan ada salah satu dukuh yang mengangkat tema jawa seperti tokoh-tokoh pewayangan,” katanya.
Sutiyono menyebutkan, Sedekah Bumi bukan sekadar ritual tahunan, melainkan wujud nyata penghargaan terhadap alam dan warisan leluhur yang harus dijaga keberlangsungannya. Tradisi ini juga membuktikan bahwa budaya dan agama dapat berjalan beriringan, sebagaimana ajaran Islam yang mengajarkan pentingnya sedekah dan solidaritas sosial.
“Kami berharap kegiatan semacam ini kami tetap bisa menjaga dan sedekah bumi ini bukan hanya sebuah tradisi, melainkan juga sebuah wujud nyata dari komitemen masyarakat dalam melestarikan budaya dan menjaga keharmonisan hidup. Melalui acara ini, masyarakat dapat terus merasakan kebersamaan, memperkuat identitas budaya, dan memperingati pentingnya menjaga alam dan hasil bumi,” imbuhnya.
(Khanifatun Nihayah).