Peran Terapi CBT dalam Rehabilitasi Psikologis: Insight dari Anak PKL Mahasiswa Psikologi UMK di DinsosPermasdes Jepara
Oleh: Anugraheni A R Pramesti
Membangun Empati dan Kesadaran
Belakangan ini, keterlibatan remaja dalam berbagai tindak pidana, termasuk kejahatan seksual seperti persetubuhan anak, menjadi perhatian serius. Mereka sering kali berada di dua sisi: sebagai korban dan, tak jarang, sebagai pelaku. Banyak faktor yang memengaruhi perilaku kriminal pada anak, salah satunya adalah pengaruh lingkungan, baik dari keluarga maupun teman sebaya. Salah satu bentuk kejahatan yang paling sering muncul adalah tindak pidana kesusilaan seperti pemerkosaan atau persetubuhan, baik dengan sesama anak seusianya maupun yang lebih muda. Dampak dari kejahatan ini sangat besar, terutama terhadap masa depan mereka.
Sebagai mahasiswa Psikologi yang sedang menjalani Praktek Kerja Lapangan (PKL) di Dinas Sosial Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (Dinsospermasdes) Kabupaten Jepara, aku berkesempatan terjun langsung untuk melihat bagaimana proses pendampingan dan pembinaan rehabilitasi sosial dilakukan bagi Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH). Tujuan dari program ini adalah mendorong perubahan perilaku yang lebih positif agar mereka dapat menjalani hidup sesuai norma masyarakat. Dalam waktu singkat, pengalaman ini menjadi pembelajaran berharga yang tidak hanya menguji kemampuanku, tetapi juga memberikan perspektif baru tentang pentingnya pendampingan yang tepat.
Dalam konteks ABH, salah satu pendekatan yang digunakan adalah Cognitive Behavioural Therapy (CBT). Terapi ini membantu mereka memahami pola pikir yang menjadi dasar tindakan mereka dan menggantinya dengan pola pikir yang lebih konstruktif. CBT merupakan kombinasi strategi berpikir dan berperilaku yang didasari oleh tiga komponen utama: pikiran, perasaan, dan perilaku (Juniarni et al., 2021). Melalui CBT, konseli diajarkan untuk memodifikasi cara berpikir, merasa, dan bertindak dengan menekankan pentingnya peran otak dalam menganalisis pola pikir.
Salah satu ABH binaan Dinsospermasdes, sebut saja A, memiliki pola pikir distorsif atau keliru. Distorsi ini mengarah pada persepsi atau interpretasi yang tidak akurat terhadap situasi atau dirinya sendiri. Dalam sesi terapi, aku menggali informasi tentang pengalaman hidup, pola pikir, emosi, dan perilaku A yang berkaitan dengan tindak pidana yang dilakukan. Aku menjelaskan hubungan antara pikiran, perasaan, dan tindakan, lalu mengajak A memahami bagaimana pola pikir keliru memengaruhi perilakunya.
Salah satu pola pikir negatif A adalah overgeneralisasi, seperti merasa iba berlebihan terhadap korban yang dianggap kurang kasih sayang, hingga akhirnya melibatkan diri dalam tindakan yang melanggar hukum. Bersama A, aku berusaha menggantikan pikiran-pikiran distorsif ini dengan pola pikir yang lebih rasional dan adaptif. Aku juga mengajak A mencoba perilaku baru yang lebih positif dalam situasi yang biasanya memicu respons negatif. Perkembangannya terus dipantau melalui sesi mingguan, dengan penyesuaian pendekatan bila diperlukan.
CBT memberikan dampak positif yang signifikan bagi ABH. Dengan terapi ini, klien belajar mengenali dan mengubah pola pikir distorsif yang sebelumnya menjadi pemicu perilaku kriminal. Mereka juga dilatih mengelola emosi negatif seperti kemarahan, frustrasi, atau rasa bersalah. Kemampuan ini membantu mereka merespons tekanan dengan cara yang lebih terkendali. Selain itu, CBT mengarahkan klien untuk menghadapi situasi sulit dengan cara yang lebih positif dan sesuai norma masyarakat, sehingga mampu membuat keputusan yang lebih baik.
Pola pikir yang lebih sehat dan keterampilan baru yang diperoleh dari CBT membuat klien merasa lebih percaya diri dalam menghadapi tantangan hidup. Hal ini juga memperkuat motivasi mereka untuk berubah ke arah yang lebih baik.
Selama PKL, aku ditempatkan di Bidang Rehabilitasi, Perlindungan, dan Jaminan Sosial (RPJS). Kegiatan sehari-hari mencakup asesmen, partisipasi dalam program rehabilitasi sosial, hingga mendukung pelaksanaan program kerja di bidang tersebut. Semua kegiatan dilakukan sesuai arahan Kepala Bidang, Kepala Seksi, dan staf lainnya. Pengalaman ini memberiku kesempatan untuk terlibat langsung dalam upaya rehabilitasi sosial bagi ABH, sekaligus memperkuat pemahaman tentang pentingnya peran intervensi psikologis dalam membantu mereka kembali ke jalur yang benar.
Pendampingan ABH bukan hanya tentang mengubah perilaku, tetapi juga memberikan harapan baru untuk masa depan yang lebih baik. Dengan pendekatan yang tepat seperti CBT, kita bisa membantu mereka menemukan jalan untuk keluar dari lingkaran kriminalitas dan menjalani hidup yang lebih bermakna.
Referensi
Kuswatun, E., Nurjannah, N., & Depriansya, D. (2021). Konseling Islam Dengan Pendekatan Cognitive Behavioural Therapy (Cbt) Untuk Mengatasi Kenakalan Remaja [Islamic Counseling With Cognitive Behavioral Therapy (Cbt) Approach To Overcome Juvenile Delinquency]. Journal of Contemporary Islamic Counselling, 1(1), 1-10.
Rahmasari, K. Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur Dalam Perkara Persetubuhan Oleh Anak. Verstek, 4(3).
Siregar, B. D., Romauli, M., & Siregar, G. T. (2022). Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Anak Di Bawah Umur Sebagai Pelaku Tindak Pidana Membujuk Anak Melakukan Persetubuhan (STUDI PUTUSAN NO. 1/PID. SUS. ANAK/2020/PN. MEDAN). Jurnal Rectum: Tinjauan Yuridis Penanganan Tindak Pidana, 4(1), 129-141.