Konsep kesetaraan gender dalam perspektif Al-Qur’an.
Oleh: – Agus Muhamad nuril hidayatulloh
– Bahrul ilmi
– Ja’far Najihandaris
Jender sendiri berasal dari bahasa Inggris, gender, berarti “jenis kelamin”. Namun sejatinya penggunaan istilah jender ini memuat adanya distingsi atau perbedaan khusus antara laki-laki dan perempuan. Isu kesetaraan gender merupakan bagian yang tidak bisa lepas dalam wacana perempuan terutama dalam tafsir feminisme. Paradigma tafsir ini berawal dari asumsi, bahwa prinsip dasar al-Qur’an dalam relasi laki-laki dan perempuan adalah keadilan, kesetaraan, kepantasan, dan musyawarah. Hal tersebut bertentangan dengan banyaknya fenomena perdagangan perempuan dan anak, kekerasan dan pelecehan seksual seakan tidak pernah terlewatkan dalam berita-berita kriminal baik di media cetak maupun online dalam kehidupan sehari-hari. Marginalisasi, subordinasi, sterotype, violence, dan beban kerja yang terlalu berat terhadap kaum perempuan menjadi faktor utama kesetaraan gender terus diagungkan oleh kelompok feminis. Dominasi laki-laki dalam peran publik dan domestikasi perempuan bukanlah hal yang baru, tetapi telah ada dan sudah berlangsung sepanjang perjalanan peradaban umat manusia.
Konstruksi sistem jender dalam masyarakat muslim sebagaimana di atas juga menarik ketika ada keterkaitan antara faktor lokal seperti agama, norma, hukum, dan adat dengan faktor global, seperti globalisasi, feminism, Islamisasi, piagam hak asasi manusia. Gabungan lokal dan global yang berkelindan dengan al-Qur’an, disertai dengan penafsiran dan pengejawantahan ajaran al-Qur’an dan Hadis menurut lokalitas dan kebudayaan Muslim yang berbeda-beda, menghasilkan kegiatan intelektual namun juga membawa konsekuensi munculnya legitimasi keagamaan yang otoritatif, dan sering kali bersifat dogmatis.
Masa Pra-Islam atau masa sebelum datangnya Islam biasanya lebih dikenal dengan sebutan masa jahiliah atau masa kebodohan. Untuk mengetahui dan memahami secara jelas kedudukan perempuan dalam Islam terlebih dahulu diperlukan mengetahui bagaimana kedudukan sebelum Islam datang atau masa jahiliah. Hal tersebut diperlukan karena Islam sungguh merupakan sebuah revolusi sosio-keagamaan, sehingga untuk mengetahui revolusi tersebut tidak dapat memutus atau menghapus jejak masa lalu. Diketahui bersama, sebelum peradaban Islam datang, telah banyak peradabanperadaban sebelumnya seperti Yunani, Romawi, Cina dan India. Begitu pun halnya dengan agama sebelum Islam, ada Hindu, Buddha, Majusi dan lainnya. Kata “jāhiliyyah” yang secara Bahasa Arab berarti kebodohan, yang disematkan kepada kaum musyrikin sebelum datang Islam adalah term yang merangkum keseluruhan makna penyelewengan dalam beribadah, kezaliman dan pembangkangan terhadap kebenaran. Jahiliah terbesar adalah penyembahan kepada selain Allah atau syirik. Ia adalah ciri paling dominan untuk kata jahiliah. Karena itu, masa sebelum pengutusan yang bergelimang kesyirikan disebut jaman jahiliah. Pada asalnya kata jahiliah merujuk pada makna kondisi bangsa Arab pada periode pra-Islam. Kondisi yang diliputi kebodohan tentang Allah, Rasul-Nya, syariat agama, berbangga-bangga dengan nasab, kesombongan dan sejumlah penyimpangan lainnya.
Keberadaan seseorang dilihat dari segi kegagahan dan kekuatan dalam menghadapi musuh, merek yang lebih mengedepankan hawa nafsu daripada akalnya untuk berpikir. Keberadaan perempuan dan anak-anak dikesampingkan dan dianggap sebagai warga kelas dua dalam keanggotaan kelompok karena mereka lemah, mereka tidak bisa diikutsertakan dalam perang. Pemberian tugas, hak dan status hanya untuk laki-laki dewasa. Mereka sangat membanggakan sukunya (ashabiyyah) atas suku yang lain dan saling berselisih tentang suku mana yang paling mulia di antara mereka. Ada beberapa tradisi yang sudah mengakar dalam keseharian seperti peperangan dan balas dendam, berjudi, minum minuman keras dan pelacuran mendapat tempat yang layak. Selain itu juga ada tradisi yang tidak memiliki rasa kemanusiaan lagi seperti tradisi mengubur hidup-hidup bayi perempuan termasuk yang disinggung dalam al-Qur’an. “Ketika bayibayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya. Karena dosa apakah dia dibunuh?” (QS. al-Takwir [81]: 8-9). Banyak sejarawan mengatakan bahwa masyarakat Arab Jahiliah terbiasa membunuh anak bayi perempuan.
Jaman jahiliah menempatkan posisi wanita serendah-rendahnya. Para sejarawan mengatakan bahwa ketika wanita haid dituntut untuk menghindari beberapa aktivitas seperti makan dan tidur bersama serta berhubungan badan. Mereka juga tidak boleh bersama suami dan keluarga dalam satu rumah, tidak diperbolehkan memasuki Ka’bah, melakukan thawaf dan menyentuh berhala, bahkan dilarang mendekatinya. Perlakuan wanita yang tidak dimanusiakan inilah yang menjadi salah satu sebab sering terjadinya peperangan.Perempuan pada masa pra-Islam khususnya dalam hal waris, perempuan tidak mendapatkan harta warisan dari mana pun, termasuk dari lingkungan keluarga paling dekat. Konsep warisan sendiri berkaitan langsung dengan konsep kepemilikan dan struktur masyarakat ketika itu yang masyarakat kabilah yang dipadu dengan sistem kekerabatan patrilineal. Mereka yang belum atau tidak bisa mengikuti perang untuk mempertahankan kabilah maka ia tidak berhak mendapatkan harta, sebelum mereka dapat mengangkat pedang untuk membela eksistensi dan kelangsungan hidup kabilah. Maka dari itulah, perempuan yang tidak diperbolehkan berperang sehingga mereka tidak mendapatkan harta. Bahkan perempuan pada saat itu dijadikan “harta warisan” milik anak tiri laki-lakinya kalau suami perempuan itu meninggal.
Tuhan dalam ajaran dasar Islam bersifat netral gender. Dengan menggunakan metode tafsir tradisional gender dalam Islam harus dipahami sebagai sebuah upaya pembedaan (distincition) dan bukan ketidaksetaraan (discrimination). Al-Qur’an juga menyatakan bahwa segala sesuatu berpasangan dan merupakan bagian dari sistem dualisme. Semua pasangan seperti laki-laki dan perempuan tunduk kepada sang pencipta. Oleh karena itu, makhluk apa pun, termasuk kaum laki-laki, tidak berhak merasa lebih tinggi dibanding perempuan. Sistem al-Qur’an tentang hubungan pasangan laki-laki dan perempuan bersifat saling melengkapi dan keduanya dalam posisi yang sama. Seperti halnya malam dan siang, di dalam dan di luar, atas dan bawah, keduanya saling berlawanan tapi saling membutuhkan. Dalam paradigma tauhid, eksistensi laki-laki dan perempuan tidak hanya berarti sama, tetapi keduanya dianggap sebagai satu dalam kesatuan Tuhan. Dalam QS. Al-Nisā’’:1, dijelaskan “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan istrinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”. Kata saling melengkapi di atas pada akhirnya akan mengarahkan pada sebuah tujuan bagi manusia yang bersifat spiritual, karena pada dasarnya dalam setiap diri terdapat dua kualitas yaitu secara kosmologi dan psikologi. Akibatnya sebagai sebuah pasangan mereka akan saling merindukan untuk mencapai satu keutuhan, maka perkawinan di sini dapat dianggap sebagai upaya penyatuan untuk mencapai keutuhan manusia yang sesungguhnya. Semua yang diciptakan Allah berdasarkan kodratnya masing-masing. Dengan demikian antara laki-laki dan perempuan sebagai individu dan jenis kelamin memiliki kodratnya masing-masing. Akan tetapi al-Qur’an menerangkan bahwa: “dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. Karena bagi orang laki-laki ada bagian daripada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah mengetahui segala sesuatu”.
Al-Qur’an mengakui adanya perbedaan seperti suku-suku, bangsa-bangsa, bahkan sudah menjadi sebuah kodrat bahwa adanya dua jenis kelamin yaitu laki-laki dan perempuan. Akan tetapi dari segi aktivitas untuk mencapai takwa dan mendapat kemuliaan di sisi Tuhan, sama-sama diberikan jalan yang adil. Karena adanya perbedaan tersebut muncul sebuah kompetisi, yang kemudian mereka semua berhak untuk memenangkan kompetisi tersebut. Jadi ukuran kemuliaan di sisi Tuhan adalah prestasi dan kualitas keimanannya, tanpa membedakan ras, suku, etik dan jenis kelamin. Hal ini berdasarkan pada al-Qur’an surat al-Hujurat ayat 13 : “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.
dapat diketahui bahwa Islam tidak mempermasalahkan tentang gender. Karena memang sudah dipertimbangkan keadilannya secara proporsional. Dengan demikian dalam Islam, hubungan manusia dengan manusia yang lain maupun hubungan manusia dengan makhluk lain adalah hubungan obyek. Jika ada suatu kelebihan potensial maka sifatnya harus dipersiapkan bagi tugas dan fungsi kemanusiaan sebagai hamba, dan khalifatullah di bumi, dan kelebihan itu tidak akan berarti jika tidak digunakan sesuai fungsinya.