Ini Penyebab Pulau Jawa Masih Kering Meski Sudah Masuk Musim Hujan
NASIONAL, PATINEWS.COM
Monsoon Break, Jawa Kekeringan Akibat Perubahan Monsun dan Siklon
Jawa, pulau terpadat di Indonesia, mengalami kekeringan akibat perubahan arah monsun Asia dan adanya bibit siklon di Samudra Hindia. Hal ini berdampak pada pertanian, kesehatan, dan ekonomi masyarakat.
Monsun Asia adalah angin musiman yang bertiup dari daratan Asia ke Samudra Hindia pada musim dingin, dan sebaliknya pada musim panas. Monsun ini membawa hujan bagi sebagian besar wilayah Indonesia, terutama di bagian barat dan tengah.
Namun, pada tahun 2023, monsun Asia mengalami perubahan arah akibat adanya sistem tekanan rendah di utara Laut China Selatan. Sistem tekanan rendah ini menyebabkan konvergensi angin, yaitu pertemuan antara angin dari arah yang berbeda, bergeser ke utara. Konvergensi angin ini merupakan sumber pembentukan awan dan hujan.
Selain itu, adanya bibit siklon 98S di Samudra Hindia selatan juga mempengaruhi pola hujan di Indonesia. Bibit siklon ini merupakan awal dari pembentukan siklon tropis, yaitu badai puting beliung yang terjadi di daerah tropis. Bibit siklon ini mengonsentrasikan awan dan hujan hanya di Samudra Hindia, sehingga mengurangi pasokan uap air ke daratan.
Akibatnya, Jawa mengalami defisit hujan selama Oktober-Desember 2023. Data dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menunjukkan bahwa rata-rata curah hujan di Jawa selama tiga bulan tersebut mengalami anomali negatif, yaitu lebih rendah dari normal. Selama itu pula, angin monsun timuran, yaitu angin kering dari arah timur, dominan di Jawa.
Kekeringan ini berdampak pada berbagai sektor, terutama pertanian. Menurut Kementerian Pertanian, luas lahan pertanian yang terdampak kekeringan mencapai 1,2 juta hektar, atau sekitar 10 persen dari total luas lahan pertanian di Jawa. Tanaman padi, jagung, kedelai, dan sayuran mengalami gagal panen akibat kurangnya air.
Kekeringan juga berdampak pada kesehatan masyarakat. Menurut Kementerian Kesehatan, kasus diare, demam berdarah, dan infeksi saluran pernapasan meningkat akibat kekurangan air bersih dan sanitasi. Selain itu, kekeringan juga meningkatkan risiko kebakaran hutan dan lahan, yang dapat menyebabkan polusi udara dan gangguan pernapasan.
Kekeringan juga berdampak pada ekonomi masyarakat. Menurut Kementerian Perdagangan, harga pangan, terutama beras, jagung, dan kedelai, naik akibat berkurangnya pasokan. Selain itu, kekeringan juga mengganggu aktivitas industri, terutama yang membutuhkan air sebagai bahan baku atau pendingin.
Untuk mengatasi kekeringan, pemerintah telah melakukan berbagai upaya, seperti penyediaan air bersih, pengadaan bibit unggul, pengembangan irigasi, dan operasi hujan buatan. Namun, upaya-upaya ini belum cukup untuk mengatasi dampak kekeringan yang luas dan berkepanjangan.
Oleh karena itu, pemerintah mengimbau masyarakat untuk menghemat penggunaan air, menjaga kesehatan, dan mengantisipasi bencana kebakaran. Selain itu, pemerintah juga mengharapkan kerjasama dari negara-negara tetangga, terutama China dan India, untuk mengurangi emisi gas rumah kaca yang dapat memperparah perubahan iklim dan monsun.
(*)