PATI, PATINEWS.COM
Kasus pengeroyokan terhadap bos rental mobil berinisial BH (52) asal Jakarta diamuk massa hingga meninggal dunia usai dikira maling di Desa Sumbersoko, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah pada Kamis (6/6/2024) lalu, mendapat perhatian luas dari publik.
Tak hanya BH, peristiwa pengeroyokan oleh warga juga menyebabkan tiga orang lainnya terluka parah, yakni SH (28) dan AS (37) dari Jakarta Barat, serta KB (54) asal Tegal. Masifnya pemberitaan hingga skala nasional mengakibatkan kasus ini menjadi tranding atau viral. Bahkan di lini masa atau platform media sosial kasus ini menjadi perbincangan publik.
Polresta Pati menetapkan tiga tersangka dalam kasus pengeroyokan di Sukolilo yaitu EB, BC, dan AG, Senin (10/6/2024). Ketiga pelaku yang diamankan tersebut memiliki peran yang signifikan.
Dr. Ahmad Rifai, S.H., M.H., akademisi dari Universitas Safin Pati menilai dari kacamata hukum pidana, ketiga pelaku dapat dijerat dengan Pasal 170 KUHP tentang Kekerasan. Ancaman pidana kekerasan sebagaimana ketentuan Pasal 170 KUHP adalah pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.
“Kemudian, jika dengan sengaja menghancurkan barang atau jika kekerasannya mengakibatkan luka-luka, pelakunya diancam dengan pidana paling lama tujuh tahun. Lalu, jika mengakibatkan luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. Namun, apabila kekerasan mengakibatkan kematian, pelaku diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun,” jelas Rifai.
Menurut Rifai aksi main hakim sendiri dalam pengeroyokan di Sukolilo tidak dapat dibenarkan dengan alasan apapun. Jika dianalisis, perbuatan ini tidak mencerminkan keadilan dan tidak beradab. Jika dilakukan, pelaku dapat dipidana dengan jerat hukum sebagaimana telah diterangkan.
“Terkait pengeroyokan dan pembunuhan itu tindakan yg tidak dibenarkan secara hukum. Karena negara kita merupakan negara hukum, sehingga kita tidak dibenarkan main hakim sendiri,” tukasnya.
“Terjadinya tindakan main hakim sendiri di Desa Sumbersoko Sukolilo ada korelasi bersama antara warga masyarakat dengan aparat pemerintah setempat dalam rangka terwujudnya kondusivitas suatu wilayah,” imbuh Rifai yang juga anggota Peradi Semarang itu.
Hal senada disampaikan Dekan Fakultas Hukum Universitas Safin Pati, Abu Mahmud, S.H., M.H. Menurutnya tindakan main hakim sendiri (Eigenrichting) bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence).
“Jadi seseorang tidak boleh dihukumi bersalah atau tidaknya tanpa melalui suatu proses hukum, sebab ada kemungkinan seseorang tidak bersalah tetapi menjadi korban tindakan main hakim sendiri. Masyarakat tidak boleh terprovokasi pada situasi-situasi tertentu di mana eksistensi hukum diperlukan,” ungkapnya.
Ia menyebutkan bahwa hukum merupakan instrumen pengendali sosial. Hal ini kemudian yang memunculkan beragam persoalan ketika tindakan main hakim sendiri terhadap pelaku kejahatan dianggap sebagai suatu fenomena yang biasa saja.
“Indonesia adalah sebuah negara hukum. Tentu tindakan main hakim sendiri tidak memiliki satupun alasan pembenar dari sisi normative,” ucapnya.
Mahmud menambahkan, ada beberapa faktor penyebab terjadinya aksi main hakim sendiri. Di antara penyebabnya, yaitu pemahaman dan kesadaran masyarakat tentang hukum masih kurang, keresahan karena kasus tidak pernah terungkap. Kemudian lemahnya penegakkan hukum dan adanya kantor psikologis.
“Ketidakpercayaan terhadap aparat hukum memicu tindakan warga untuk main hakim sendiri,” ujarnya.
“Semua stakeholder harus dilibatkan dalam menjaga Kamtibmas di suatu wilayah. Bagaimana antara Babinkamtibmas dan Babinsa menjadi garda terdepan di masyarakat,” pungkas Mahmud.(*)