Peran Penting Keluarga dalam Proses Pemulihan Terhadap Gangguan Depresi Pada Remaja dengan Krisis Identitas
Oleh: Namira Rana Tsabita
Gangguan depresi pada remaja merupakan masalah kesehatan mental yang semakin meningkat di seluruh dunia, dengan data menunjukkan bahwa sekitar 20% remaja mengalami gangguan mental, dan di antara mereka, depresi adalah salah satu yang paling umum. Menurut laporan dari World Health Organization (WHO), lebih dari 264 juta orang di seluruh dunia mengalami depresi, dan angka tersebut terus meningkat, terutama di kalangan remaja. Dalam konteks ini, sebut saja dengan inisial A, seorang remaja berusia 18 tahun yang mengalami gangguan depresi akibat krisis identitas, menjadi contoh nyata bagaimana dukungan keluarga dapat berperan penting dalam proses pemulihan.
Krisis identitas adalah fase yang umum dialami oleh remaja, di mana mereka berusaha menemukan siapa diri mereka dan bagaimana mereka berinteraksi dengan dunia di sekitar mereka. Menurut Erik Erikson (1968), tahap ini merupakan bagian dari perkembangan psikososial yang penting, di mana individu harus menghadapi tantangan untuk membangun identitas yang kuat. Dalam kasus A, faktor-faktor seperti dinamika keluarga yang kompleks sering kali membuatnya merasa terisolasi dan kesepian, sehingga memperburuk kondisi depresinya.
A mulai menunjukkan gejala psikologis serius pada usia 18 tahun, termasuk menyendiri, kehilangan nafsu makan, dan kesulitan tidur. Meskipun tidak ada masalah signifikan selama masa kehamilan dan kelahirannya, riwayat keluarga menunjukkan adanya predisposisi terhadap gangguan mental, terutama dari ibunya yang pernah mengalami gangguan jiwa akibat tekanan emosional. Situasi ini semakin memperkuat pentingnya dukungan keluarga dalam membantu A mengatasi masalahnya.
Dalam upaya pemulihan A, beberapa jenis terapi diterapkan secara bersamaan untuk memberikan dukungan holistik. Terapi Cognitive Behavioral Therapy (CBT) berfokus pada mengidentifikasi dan mengubah pola pikir negatif serta perilaku maladaptif yang berkontribusi terhadap depresi; melalui terapi ini, A dapat belajar untuk mengenali dan menantang pikiran-pikiran yang merugikan dirinya sendiri, sehingga dapat mengurangi gejala depresi secara signifikan.
Selain itu, terapi psikososial juga diterapkan untuk meningkatkan keterampilan sosial dan membangun dukungan dari lingkungan sekitar; dalam terapi ini, A didorong untuk berinteraksi lebih aktif dengan teman-temannya dan terlibat dalam kegiatan sosial yang positif, yang sangat penting untuk mengurangi perasaan kesepian dan meningkatkan rasa percaya diri.
Di samping itu, pendekatan mindfulness diperkenalkan untuk membantu A mengelola kecemasan dan stres dengan cara meningkatkan kesadaran akan momen saat ini; melalui teknik-teknik relaksasi dan meditasi yang diajarkan dalam terapi mindfulness, A belajar untuk menenangkan pikirannya dan menemukan ketenangan di tengah gejolak emosional yang dialaminya.
Pendekatan ini sejalan dengan teori krisis identitas dari Erik Erikson (1968), di mana pada tahap remaja, individu sering kali menghadapi tantangan dalam menemukan identitas diri mereka dan memahami peran mereka dalam masyarakat. Dalam konteks ini, dukungan keluarga sangat diperlukan untuk membantu A menjelajahi identitasnya dengan aman, memberikan ruang bagi dia untuk bereksperimen dengan berbagai peran tanpa takut akan penilaian atau penolakan.
Secara keseluruhan, pengalaman A menegaskan bahwa peran keluarga tidak hanya sebagai sumber dukungan tetapi juga sebagai faktor kunci dalam proses pemulihan individu yang mengalami gangguan mental; melalui kombinasi terapi CBT, psikososial, dan mindfulness serta pendekatan krisis identitas dari Erikson, diharapkan A dapat menemukan kembali jati dirinya dan membangun kehidupan yang lebih sehat secara emosional serta mengurangi risiko kekambuhan di masa depan dengan dukungan penuh dari keluarganya.
REFERENSI
Barnett, R. (2019). Depression. The Lancet, 393. https://doi.org/10.1016/S0140-6736(19)31151-1.
Belmaker, R., & Agam, G. (2008). Major depressive disorder.. The New England journal of medicine, 358 1, 55-68 . https://doi.org/10.1056/NEJMra073096.
Dirgayunita, A. (2016). Depresi: Ciri, Penyebab dan Penangannya. Journal An-Nafs: Kajian Penelitian Psikologi, 1(1), 1–14. https://doi.org/10.33367/psi.v1i1.235
Erikson, E. H. (1968). Identity, youth, & crisis. Identity, Youth, & Crisis, 338. https://books.google.com/books/about/Identity_Youth_and_Crisis.html?id=v3XWH2PDLewC
Fancher, T., & Kravitz, R. (2010). Depression. Annals of Internal Medicine, 152, ITC5-1. https://doi.org/10.7326/0003-4819-152-9-201005040-01005.
Kaplan, H. I., Sadock, B. J., & Grebb, J. A. (1997). Kaplan dan Sadock Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis Jilid 2.
Koo, S. (2018). Depression Status in Korea. Osong Public Health and Research Perspectives, 9, 141 – 142. https://doi.org/10.24171/j.phrp.2018.9.4.01.
Malhi, G., & Mann, J. (2018). Depression. The Lancet, 392, 2299-2312. https://doi.org/10.1016/S0140-6736(18)31948-2.
Mokalu, V. R., & Boangmanalu, C. V. J. (2021). Teori psikososial Erik Erikson: impikasinya bagi pendidikan agama Kristen di sekolah. VOX EDUKASI: Jurnal Ilmiah Ilmu Pendidikan, 12(2), 180–192.
Nurhayati, R., & Santoso, A. (2018). Hubungan antara Ekspresi Gambar Orang dan Faktor-Faktor Kepribadian 16PF. Psikologika: Jurnal Pemikiran Dan Penelitian Psikologi, 23(2), 165–182. https://doi.org/10.20885/psikologika.vol23.iss2.art7
Prabowo, A., Nisa, A. C., & Jadmiko, G. T. (2016). Profil kepribadian tes wartegg (studi deskriptif pada seleksi karyawan). Seminar Asean 2Nd Psychology & Humanity, 2011, 23–27. https://bit.ly/4dZb3CU