Hari Santri, Sumpah Pemuda dan Hari Pahlawan, Peran Kyai dan santri Nahdlatul Ulama
Oleh : Imam Muhlis Ali
Di bulan Oktober dan November ini banyak rangkaian acara yang bertema kebangsaan. Dalam dunia santri tenru saja kebangsaan yang moderat, toleran, inklusive dan menghargai kebudayaan nusantara seperti.yang sudah di lakukan oleh pendakwah sukses yakni Sunan Wali Songo.
Tiga momentum.tepat memelihara semangat kebangsaan Indonesia pancasila yakni hari santri, hari sumpah pemuda dan hari pahlawan. Di.hari santri kita bangsa Indonesia mengakui peran besar dari seorang ulama’ besar yakni Hadratus Syeikh Hasyim.Asy’ari. Beliau merupakan tokoh sentral dan simbol perlawanan terhadap penjajah sekutu , Belanda dan Jepang. Pun demikian para ulama seperti KH.Bisri Syamsuri, KH.Wahab Hasbullah dan para kyai ulama NU lainnya.
Tidak lupa para santri Jawa Timur dan seluruh Indonesia bwrjuang mempertahankan kemerdekaan. Ini semua tidak bisa di gugat dan di hilangkan vegitu saja. Indonesia di.mata Para Kyai dan Sabtri adalah darah dan jiwa. Hubbul Wathon Minal Iman , mencintai negara sebagian dari.pada iman.
Kalau tahun ini hari santri sudah diperingati keenam kalinya, untuk peringatan hari sumpah pemuda genap 92 tahun Sumpah Pemuda berlalu. Tak terhitung banyaknya penggalan sejarah tentang peristiwa penting itu telah ditulis dan hingga kini bisa dijadikan referensi. Sumpah Pemuda memang penting dan sangat berharga bagi bangsa Indonesia.
Tanggal 28 Oktober, Hari Sumpah Pemuda diperingati dengan penuh khidmat. Di bulan yang sama, sepekan yang lalu, tepatnya 22 Oktober, Hari Santri Nasional meski dirayakan dengan cara sederhana karena masih Pandemi Covid-19. Namun tidak mengurangi makna nilai-nilai perjuangan.
Jika peringatan hari Sumpah Pemuda sudah memasuki usia 92 tahun, sementara Hari Santri Nasional, baru menginjak tahun kelima sejak pencanangan pertamanya empat tahun lalu. Tanggal 22 Oktober sengaja dipilih, bertepatan dengan tanggal deklarasi maklumat Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama (NU) oleh KH Hasyim ‘Asyari. Inilah resolusi yang sangat berpengaruh besar bagi tercapainya kemerdekaan bangsa, terutama karena para pemuda, khususnya kalangan santri pada masanya, sontak tersengat semangat nasionalisme mereka dan kemudian tanpa ragu bergegas ke medan jihad melawan penjajah Belanda.
Itulah sekilas peran besar KH Hasyim ‘Asyari bagi perjuangan merebut kemerdekaan, yang melalui deklarasi Resolusi Jihadnya dengan tegas menyatakan, bahwa hukum membela Tanah Air adalah fardhu ‘ain bagi para pejuang, tak terkecuali para pemuda dan para santri.
Lalu apa dan bagaimana peran para Kiai NU menjelang deklarasi Sumpah Pemuda?
Sebagaimana telah banyak ditulis para sejarawan bahwa Nahdlatul Ulama dideklarasikan sebagai muara dari tiga gerakan aktivis pesantren, yaitu gerakan pencerahan (tashwirul afkar), gerakan nasionalisme (nahdlatul wathan) dan gerakan kemandirian ekonomi (nahdlatut tujjar). Kehadiran NU pada 1926 itu tak lebih dari tahapan dari proses gerakan kebangsaan yang makin menguat memasuki abad ke 20.
Maka dari sisi usia, pada saat momentum Sumpah Pemuda, NU masih memasuki umur 3 tahun kala itu. NU belum populer sebagai organisasi berbasis massa apalagi hidup di era penjajah. Namun meski masih bayi, tokoh-tokoh NU era itu bukanlah orang asing di dunia pergerakan. Karena itu NU pun mampu bergerak cepat.
Pelaku sejarah, almarhum Ruslan Abdul Gani mencatat NU tumbuh cepat dan nyaris merata. Sehingga terasakan dalam kelahiran NU terdapat jiwa self help. Ruslan menambahkan, deklarasi NU itu wujudnya adalah gerakan sistematis kaum Muslim desa yang termasuk mata rantai kebangkitan rakyat secara nasional.
Merujuk pada dokumen institusi NU, setahun sebelum deklarasi Sumpah Pemuda, tepatnya pada tanggal 9 Oktober 1927, para kiai NU dalam forum tertinggi NU memutuskan menabuh genderang perang kebudayaan. Para kiai NU menyasar pada pelarangan budaya Belanda yang tersimbolkan dalam ornamen mode pakaian.
Ahmad Syalabi (sejarawan Mesir) mencatat bahwa keputusan NU tahun 1927 tersebut merupakan bentuk perlawanan budaya para Kiai terhadap penjajah. Perang kebudayaan yang digelorakan para Kiai NU itu dalam implementasinya berwujud boikot dan delegitimasi atas budaya yang bersumber dari penjajah. Perang kebudayaan tersebut secara ekstrem juga berwujud legitimasi para Kiai NU untuk berperang melawan penjajah. Keputusan NU tahun 1927 tentang perang kebudayaan secara langsung memang melahirkan hukum kewajiban Muslim Nusantara untuk berperang mengangkat senjata. Sebab untuk kali pertama, NU menggolongkan penjajah saat itu sebagai kaum kafir yang harus diperangi dan ditundukkan.
Keputusan NU tahun 1927 untuk perang kebudayaan cepat tersosialisasi ke tengah masyarakat. Muslim Nusantara meresponnya dengan patuh dengan cara langsung dipraktikkan. Segala macam asesoris, ornamen, simbol yang berbau penjajah mendapatkan penolakan keras dari masyarakat desa. Selama satu tahun NU melakukan perang kebudayaan dengan berbagai konsekuensi turunannya. Babak selanjutnya terjadi pada tanggal 9 September 1928 saat NU menggelar Muktamar, sebulan sebelum deklarasi Sumpah Pemuda.
Saat Muktamar NU 1928 tersebut para kiai memutuskan untuk melanjutkan perang kebudayaan menghadapi penjajah.
SELAMAT HARI SANTRI, HARI SUMPAH PEMUDA DAN HARI PAHLAWAN.
MARI TETAP BERSATU DALAM NAUNGAN INDONESIA YANG BERDASARKAN PANCASILA, BHINNEKA TUNGGAL IKA, NKRI BERDAULAT DAN UUD 1945.
MARI JAGA KEDAMAIAN NEGARA KITA.
Mari kita kirimkan do’a Alfatihah untuk para kyai, ulama’, santri dan pejuang Indonesia. Alfatihah.
(*).