Deny Pusung, Sutradara yang Enggan Angkat Film dengan Tema Action
KUDUS, PATINEWS.COM
Penulis: Elsa Aulia Safani
Deny pusung adalah salah satu sutradara lulusan dari Institut Kesenian Jakarta. Deny kuliah selama enam tahun dan bukannya berada di Fakultas Film dan Televisi melainkan malah kuliah di Fakultas Seni Pertunjukan yaitu di Seni Teater.
Awal karirnya terjun ke dunia perfilman adalah ketika Deny menjadi assistant Didi Widiatmoko atau yang sering akrab dipanggil Didi Petet dalam film si Kabayan. Didi Petet ternyata bukan hanya aktor tetapi kesibukan lainnya juga mengajar di Institut Kesenian Jakarta dan aktif pula dalam sejumlah pementasan teater serta seminar tentang seni peran. Itulah mengapa Deny Pusung sangat akrab dengannya.
Kamis, 20 Februari kemarin Deny datangi IAIN Kudus dalam acara Workshop Festival Komunikasi yang di adakan oleh mahasiswa Prodi KPI. Dalam workshop ini ada dua narasumber yang didatangkan yaitu Deny Pusung sebagai Sutradara film “Ajari Aku Islam” dan Tomy Ristanto sebagai News Anchor Net-TV.
Disini penulis ingin menggali alasan Deny saja karena setelah menilik daftar film yang dibahas dalam workshop kemarin terlihat bahwa kebanyakan tema film yang di angkat Deny Pusung adalah tentang Romantisme atau tentang Kehidupan.
Penulis yang menjadi penyuka film action dan horror merasa penasaran mengapa Deny tidak mencoba membuat film dengan bertemakan action maupun horror. Ternyata alasan Deny dibalik itu semua adalah karena membuat film action jauh lebih sulit dan cenderung lebih mahal, selain itu proses pengerjaannya pun jauh lebih lama dibandingkan film drama. Dibandingkan dengan film Horror, Film Action memang jauh lebih sulit.
“Saya tidak akan mau mengerjakan film action. Ngeri nggak bagus hasilnya karena saya tidak menguasai teknik pembuatan film action yang bagus.” ucap Deny ketika ditanyai apakah suatu saat nanti akan mencoba mengangkat film Action atau tetap dengan film Drama.
Apalagi banyak yang menganggap bahwa masyarakat Indonesia sendiri lebih menyukai film Hollywood dibandingkan film karya Indonesia sendiri. Hal ini dapat disimpulkan oleh Deny bahwa karena memang film Hollywood lebih canggih dan mahal, dan dari segi Negara pun mereka lebih kaya dibandingkan dengan negara Indonesia.
Menurut Deny sendiri film yang bagus adalah film yang alur dan endingnya sulit ditebak. Begitu juga saat mengerjakan film “Ajari Aku Islam” Deny merasa was-was apabila endingnya dapat ditebak oleh penonton. Membuat karya film yang bagus dan diminati banyak penonton memang masih menjadi tantangan bagi sutradara sampai saat ini.
Semoga kedepannya perfilman Indonesia semakin maju dan tidak kalah canggih dengan film karya luar negeri.
(*)