QIRA’AT MASA LAMPAU DENGAN MASA SEKARANG, BERBEDA ATAU BERKEMBANG?
Oleh :
- Sami’atul Umaroh (2330110003)
- Dewi Aflahanis Showamah (2330110011)
- Amelia Choirunnisa (2330110018)
- Alfiyatin Ni’mah (2330110019)
- Muhammad Ihsan Hariyanto (2330110020)
- Nadia Raissa Martafia (2330110023)
- Andik Naufal Ali Wijaya (2330110026)
- Ahmad Shofil Fu’ad (2330110032)
- DEFINISI QIRA’AT
Kata al-qira’at (القِرَاءَات) adalah jamak dari kata qira’ah (قِرَاءَةً) yang merupakan bentuk masdar dari fi’il qara’a (قَرَأَ) berarti bacaan. Secara etimologi, al-qira’at memiliki arti ragam bacaan. Sedangkan qira’at secara terminologi (istilah) ada beberapa pendapat, antara lain:
Menurut Mannā’ Khalīl al-Qaṭṭān
القِرَاءَاتُ مَذْهَبٌ مِنْ مَذَاهِبِ النُّطْقَ فِى الْقُرْأنِ يَذْهَبُ بِهِ إِمَامٌ مِنَ الْأَئِمَّةِ الْقُرَّاءِ مَذْهَبًا يُخَالِفُ غَيْرُهُ
Qiraat adalah salah satu mazhab (aliran) dari berbagai mazhab berkaitan dengan pengucapan ayat al-Qur’an yang dilafalkan dan dipilih oleh salah satu imam qiraat sebagai suatu mazhab yang berbeda dengan mazhab lainnya
Menurut Al-Dimyathi sebagaimana dikutip oleh Dr. Abdul Hadi al-Fadli bahwasanya Qira’at adalah: “Suatu ilmu untuk mengetahui cara pengucapan lafal-lafal al-Qur’an, baik yang disepakati maupun yang diikhtilafkan oleh para ahli Qira’at, seperti hazf (membuang huruf), isbat (menetapkan huruf), washl(menyambung huruf), ibdal (menggantikan huruf atau lafal tertentu) dan lain-lain yang didapat melalui indra pendengaran.”
Dengan demikian, definisi Qira’at secara terminologi adalah “Suatu ilmu untuk mengetahui kesepakatan serta perbedaan para ahli Qira’at, seperti yang menyangkut aspek kebahasaan, i’rab, isbat, fashl dan lain-lain yang diperoleh dengan cara periwayatan.”
Dari definisi-definisi di atas, tampak bahwa Qira’at Al-Qur’an berasal dari Nabi Muhammad SAW, melalui al-sima dan an-naql. Berdasarkan uraian di atas pula dapat disimpulkan bahwa:
1) Yang dimaksud Qira’at dalam bahasan ini, yaitu cara pengucapan lafal-lafal al-Qur’an sebagaimana di ucapkan Nabi atau sebagaimana di ucapkan para sahabat di hadapan Nabi lalu beliau mentaqrirkannya.
2) Qira’at al-Qur’an diperoleh berdasarkan periwayatan Nabi SAW, baik secara fi’liyah maupun taqririyah.
3) Qira’at al-Qur’an tersebut adakalanya memiliki satu versi Qira’at dan adakalanya memiliki beberapa versi.
Sejarah dan Perkembangan Qira’at
Nabi Saw menerima Al-Qur’an dari malaikat Jibril as secara berangsur-angsur selama kurang lebih 23 tahun. Sejarah mencatat bahwa selama kurun waktu tersebut Nabi tidak hanya menetap di Makkah, namun sering bepergian dan hijrah ke kota lain, seperti Madinah. Proses turunnya Al-Qur’an dan perjalanan dakwah Nabi tersebut tentu sangat berpengaruh pada sejarah dan perkembangan qira’at.
Terdapat dua pendapat di kalangan ulama yang menjelaskan tentang kapan mulai munculnya qira’at, yaitu:
Pertama, qira’at turun di Makkah bersama permulaan turunnya wahyu Al-Qur’an. Pendapat ini berargumen bahwa kebanyakan surat Al-Qur’an turun di Makkah dan di dalamnya terdapat qira’at, namun tidak demikian dengan surat-surat yang turun di Madinah. Menurut mereka, inilah yang menunjukkan bahwa qira’at diturunkan di Makkah.
Kedua, qira’at diturunkan di Madinah setelah Nabi hijrah. Pendapat kedua ini beralasan bahwa dengan banyaknya orang-orang yang masuk Islam dari berbagai suku dan kalangan dengan bahasa dan lahjat mereka masing-masing, maka Allah SWT memberi kemudahan untuk membaca Al-Qur’an dengan tujuh huruf (sab‘atu ahruf).
- Qira’at Pada Masa Nabi Dan Sahabat
Periode pertama ini merupakan periode pertumbuhan qira’at. Qira’at diperkenalkan oleh Nabi Saw sendiri dalam bentuk bahasa lisan sebagaimana yang diajarkan oleh malaikat Jibril AS. Setiap ayat yang turun dihafal dengan baik oleh Nabi, kemudian mengajarkan kepada para Sahabat. Perihal orosinilitas nash Al-Qur’an telah digaransi oleh Allah Swt tidak perlu diragukan lagi. Sebab yang dijadikan i‘timad (parameter) dalam penukilan Al-Qur’an adalah hafalan yang berada dalam memori Rasulullah dan para sahabatnya, bukan didasarkan pada dokumentasi tertulis berupa suhuf maupun mushaf.
Beranjak ke masa Sahabat, setelah Nabi wafat pemerintahan Islam dikendalikan oleh Khalifah Abu Bakar Shiddiq. Berbagai peristiwa terjadi ketika itu, termasuk perang Yamamah pada tahun 11 H. Perang ini mengakibatkan gugurnya sekitar 70 orang Sahabat penghafal AlQur’an, sehingga memunculkan kekhawatiran di kalangan umat Islam ketika itu akan hilangnya Al-Qur’an.
Peristiwa itu menggugah hati Umar bin Khattab, sehingga beliau mengusulkan kepada Abu Bakar, selaku khalifah agar Al-Qur’an dikumpulkan dan ditulis dalam satu mushaf. Awalnya Abu Bakar menolak, namun akhirnya beliau menerima usulan tersebut dengan menunjuk Zaid bin Tsabit sebagai koordinator, dibantu oleh Sahabat lain seperti; Ubay bin Ka‘ab, Ibnu Mas‘ud, Utsman, ‘Ali, Thalhah, Huzaifah al-Yaman, Abu Darda’, Abu Hurairah, dan Abu Musa al-Asy‘ari.
Setelah Abu Bakar wafat, mushaf yang telah dikumpulkan dijaga oleh Umar bin Khatthab. Di masa Umar, mushaf itu diperintahkan untuk disalin ke dalam lembaran (shahifah). Umar tidak menggandakan lagi shahifah itu, karena memang hanya untuk dijadikan sebagai naskah orisinal, bukan sebagai bahan hafalan. Setelah itu, mushaf diserahkan kepada Hafshah, istri Rasulullah.
Sepeninggal Umar, jabatan khalifah beralih kepada Ustman bin ‘Affan. Pada masa Ustman ini, dunia Islam banyak mengalami perkembangan, wilayah Islam sudah sedemikian luas, dan kebutuhan umat untuk mengkaji AlQur’an semakin meningkat. Banyak penghafal Al-Qur’an yang ditugaskan ke berbagai provinsi untuk menjadi imam sekaligus sebagai ulama yang bertugas mengajar umat. Penduduk Syria misalnya, memperoleh pelajaran dan qira’at dari Ubay bin Ka‘ab, penduduk Kuffah berguru kepada ‘Abdullah ibn Mas‘ud, dan penduduk Basrah belajar kepada Abu Musa al-Asy‘ari.
Pada masa pemerintahan ‘Usman bin ‘Affan, wilayah kekuasaan Islam semakin meluas sampai Armenia dan Azerbaijan. Di sana Huzaifah bin al-Yaman melihat perbedaan qira’at umat Islam. Karena takut terjadi perpecahan di kalangan umatnya seperti yang terjadi pada umat Yahudi, dia mengusulkan kepada Khalifah ‘Usman bin ‘Affan untuk menyeragamkan al-Qur’an menjadi satu huruf. Akhirnya Khalifah Usman bin ‘Affan menerima usulan tersebut, dengan membentuk panitia yang diketuai Zaid bin Sabit dan dibantu tiga orang Qurays untuk membukukan al-Qur’an. Setelah al-Qur’an yang ditulis Zaid bin Sabit selesai, ‘Usman bin ‘Affan memerintahkan untuk membakar semua catatan pribadi (al-Qur’an) yang dimiliki kaum Muslimin.
Menurut catatan sejarah, ketika terjadinya perang Armenia dan Azerbaijan dengan penduduk Irak, di antara pasukan yang ikut menyerbu adalah Huzaifah bin Ayaman. Huzaifah melihat di kalangan tentara Islam ketika itu terjadi banyaknya perbedaan dalam membaca Al-Qur’an, masing-masing mereka memegang teguh apa yang mereka pelajari dari guru-guru mereka, bahkan sebagian mereka sampai mengkafirkan sebagian yang lain. Berita ini pun kemudian sampai kepada khalifah Usman bin Affan. Selanjutnya khalifah Usman mengirim utusan kepada Hafsah (untuk meminjam mushaf Abu Bakar yang ada padanya) dan Hafsah pun mengirimkan lembaranlembaran itu padanya. Khalifah Usman juga memanggil Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin ‘As dan Abdurrahman bin Haris bin Hisyam, ketiga orang terakhir ini adalah suku Quraisy; lalu memerintahkan mereka agar menyalin dan memperbanyak mushaf, serta memerintahkan pula agar apa yang diperselisihkan Zaid dengan ketiga orang Quraisy itu ditulis dalam bahasa Quraisy, karena Al-Qur’an turun dalam logat mereka.Kondisi ini kemudian memunculkan muncullah gagasan untuk kembali menyalin mushaf yang telah ditulis di masa Abu Bakar menjadi beberapa mushaf yang kemudian dikenal dengan Mushaf Ustmani.
Mushaf Usmani tersebut ditulis menjadi lima eksemplar, meskipun ada yang menyebutkan sampai tujuh eksemplar. Khalifah ‘Ustman mengirim mushaf-mushaf tersebut beserta para guru ahli qira’at Al-Qur’an. Di antara kota yang menerima mushaf usmani adalah; Makkah sebagai arsip negara, Syam (Damaskus) beserta al-Mugirah bin Abi Syihab, Basrah beserta ‘Amir bin ‘Abd al-Qais, Kufah beserta Abu ‘Abdirrahman al-Sulami dan Madinah dengan Zaid bin Tsabit.
Jadi, pada masa sahabat, qira’at sudah berkembang ke berbagai penjuru sesuai dengan geliat dakwah para sahabat itu sendiri. Di tempat yang baru itu mereka mengajarkan Al-Qur’an sesuai dengan qira’at yang mereka kuasai. Sehingga di beberapa tempat terjadi perbedaan dalam hal qira’at. Pada masa sahabat ini juga mulai muncul tempat-tempat khusus yang dipergunakan untuk belajar Al-Qur’an.
- Qira’at Pada Masa Tabi’in dan Imam Qira’at
Pada permulaan abad ke-2 H, atau pada generasi Tabi’in, muncul beberapa orang yang menfokuskan perhatian mereka pada masalah qira’at. Sebagian besar mereka berasal dari kawasan-kawasan Islam yang mendapat kiriman kopian mushaf utsmani. Para ulama spesialis bidang qira’at memandang penting dibentuknya ruang privat untuk bidang qira’at yang sudah mencukupi persyaratan sebagai disiplin ilmu baru dalam mozaik peradaban Islam.
Keberadaan para ahli qira’at tidak hanya terfokus di sebuah kawasan Islam, namun sudah menyebar cukup merata di beberapa daerah. Dalam Thabaqat al-Qurra’ disebutkan setidaknya ada 18 orang ahli qira’at di kalangan Tabi’in yang masyhur. Di Madinah misalnya, muncul tokoh qira’at bernama Abu Ja‘far Yazid bin al-Qa‘qa‘ (w. 130/747), Nafi‘ bin ‘Abdurrahman bin Abi Nu‘aim (w. 169/785), dan masih banyak yang lain. Di Makkah terdapat ‘Abdullah ibn Katsir al-Dari (w.120/737), Humaid bin Qais al-A‘raj (w. 123/740), dan yang lainnya. Di Syam terdapat ‘Abdullah alYahshubi yang terkenal dengan julukan Ibnu ‘Amir (w. 118/736), Isma‘il bin ‘Abdillah (w. 170/786). Di Basrah ada Zabban bi al-‘Ala’ bin ‘Ammar yang terkenal dengan julukan Abu ‘Amr (w. 154/770), ‘Abdullah bin Abi Ishaq (w. 117/735), ‘Isa bin ‘Amr, ‘Ashim al-Jahdari (w. 128/745), Ya‘kub bin Ishaq al-Hadhrami (w. 205/820), dan yang lainnya. Di Kufah muncul ‘Ashim bin Abi al-Najud al-Asadi (w. 127/744), Hamzah bin Habib al-Zayyat (w. 188/803), Sulaiman al-A‘masi (w. 119/737), al-Kisa’i (w. 189/804), dan yang lainnya.
Banyaknya ahli qira’at yang muncul di masa Tabi’in ini menjadi motivasi bagi generasi selanjutnya, sehingga wajar pada akhirnya mereka menjadi pakar qira’at yang tersohor. Pada masa ini juga muncul para Imam Qira’at yang terkenal dengan sebutan Imam qira’at sab‘ah, tujuh Imam qira’at tersebut adalah; Ibnu Katsir, Nafi‘, Abu ‘Amr, Ibnu ‘Amir, ‘Ashim, Hamzah dan Kisa’i seperti yang telah penulis sebutkan pada sub bab sebelumnya.
Pada masa Tabi’in ini pula sudah ada kitab qira:at yang disusun, seperti kitab yang disusun oleh Yahya bin Ya’mar (W. 90 H). Ia adalah salah seorang murid dari Abu al Aswad al-Duwali. Dia tidak mengumpulkan semua qira’at di dalam kitabnya, tetapi hanya memfokuskan pada satu macam qira’at saja. Dan juga kitab Ikhtilafat Masahif al-Syam wa al-Hijaz wa al-‘Iraq karya ‘Abdullah bin ‘Amir (W. 118 H).
- Qira’at Pada Masa Pembukuan Qira’at
Setelah munculnya para ahli dan Imam qira’at pada periode sebelumnya, ilmu qira’at semakin berkembang dan banyaknya para pengkaji Al-Qur’an yang menfokuskan kajiannya terhadap qira’at. Maka sampailah kepada periode pembukuan ilmu qira’at, hal ini ditandai dengan munculnya kitab al-Qira’at yang ditulis oleh Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Salam (w.157-224/774-838). Inovasi yang dilakukan oleh Abu Ubaid menjadi preseden bagi para ulama ahli qira’at yang lain untuk merekam ide-ide mereka tentang disiplin ilmu qira’at dalam karya tulis.
Di antaranya adalah Ahmad bin Jubair al-Kufi (w. 258/872) yang menyusun kitab al-Khamsah, sebuah kitab yang menghimpun nama lima orang qira’at untuk merepresentasikan ahli qira’at setiap kawasan Islam; Isma‘il bin Ishaq al-Maliki (199-282/815-896) yang menyusun kitab alQira’at, Abu Ja‘far bin Jarir ath-Thabari (224-320) yang menyusun kitab al-Qira’at. Abu Bakar Muhammad bin Ahmad al-Dajuni (w. 123/740), dan masih banyak yang lainnya.
Pada akhir abad ke-3 H muncul di kota Baghdad seorang ulama ahli qira’at yang reputasinya sangat luar biasa. Dialah Abu Bakar Ahmad bin Musa bin al-‘Abbas bin Mujahid (w. 245-324/859-935) yang lebih dikenal dengan julukan Ibnu Mujahid. Popularitasnya mengungguli para ulama segenerasinya, karena kadar keilmuan beliau yang sangat luas, pemahamannya terhadap disiplin ilmu qira’at sangat dalam, dialeknya dalam mengartikulasikan qira’at sangat baik, dan rutinitas ibadahnya sangat mengagumkan. Dalam kapasistasnya sebagai seorang syaikh ahli qira’at, Ibnu Mujahid mencoba menawarkan sebuah konsep tentang qira’at sab’ah, yakni sebuah limitasi jumlah madzhab qira’at yang diwakili oleh tujuh orang Imam qira’at.Untuk mendukung konsep yang ia tawarkan, beliau menyusun sebuah kitab yang berjudul kitab Sab‘ah fi alQira’at.
- QIRAAT MASA SEKARANG
Evolusinya dari masa lampau sampai kini menunjukkan bahwa awalnya para cendekiawan Muslim tidak terlalu tertarik dengan pengetahuan yang luar biasa. Ini adalah hal yang layak disyukuri bagi Allah SWT. Generasi muda hari ini memiliki niat yang kuat untuk mendapatkan informasi tersebut menguasainya sepenuhnya.
Penyebaran Qiraat di kalangan umat Muslim dapat dikenali melalui keberadaan para imam di berbagai belahan dunia yang membacakan ayat-ayat Al-Qur’an dengan cara yang berbeda. Di Nusantara, Indonesia, umumnya mengikuti bacaan Qiraat Hafs bin ‘Ashim. Sementara itu, di Bashrah terdapat imam yang memimpin jamaah dengan bacaan Qiraat Imam Ya’qub. Di Mesir, bacaan yang digunakan adalah Qiraat Warsy, dan saat ini juga berkembang menjadi Qiraat Abu Amru al-Bashri. Selain itu, Qiraat Imam Nafi’ dengan riwayat Qalun banyak ditemui di Libya, Tunisia, dan Aljazair. Di Barat Mesir, Chad, Kamerun, Nigeria, Libya, Tunisia, Aljazair, Maroko, Mauritania, serta sebagian wilayah Afrika Barat dan Utara, banyak dibaca Qiraat Imam Nafi’ dengan riwayat Warsy. Riwayat Imam al-Duri dari Abu Amru juga sering dibaca di Sudan, Somalia, dan Hadhramaut di Yaman.
Penyebaran suatu Qiraat juga tidak bisa dipisahkan dari banyaknya percetakan mushaf yang sesuai dengan riwayat tertentu. Misalnya, riwayat Hafs bin ‘Ashim menyebar berkat dukungan pemerintahan Turki Usmani pada awalnya dan meluas hingga ke ASEAN dan Indonesia. Begitu pula dengan mushaf Al-Qur’an Qiraat Imam Nafi’ riwayat Warsy yang dicetak di percetakan Al-Qur’an Raja Fahd bin Abdul Aziz di Madinah serta di percetakan di Maroko, Suriah, dan Qatar. Mushaf dengan Qiraat Nafi’ riwayat Qalun juga dicetak di Libya, Tunisia, dan Aljazair. Sementara itu, mushaf dengan riwayat al-Duri dicetak di Sudan dan Madinah al-Munawwarah. Secara umum, di wilayah yang mengadopsi suatu riwayat sering kali akan ada percetakan mushaf sesuai dengan Qiraat tersebut.
Penyebaran Qiraat ini tidak hanya melalui media cetak tetapi juga melalui media elektronik seperti rekaman audio yang dapat ditemukan di platform seperti YouTube. Beberapa imam Qira’at yang menggunakan riwayat Warsy telah direkam oleh Syaikh Mahmud Khalil al-Hushari dan beberapa qari lainnya. Untuk riwayat Qalun, rekaman dilakukan oleh Muhammad Busininah dan Syaikh Ali bin Abdurrahman al-Huzaifi. Sementara itu, riwayat al-Duri juga direkam oleh Ali bin Abdurrahman al-Huzaifi dan Mahmud Khalil al-Hushari. Adapun untuk Qira’at Hafs, terdapat banyak qari yang membacanya.
Di era kontemporer ini, muncul berbagai pandangan mengenai Qira’at Al-Qur’an. Salah satu pendapat menarik datang dari orientalis Jeffery, yang berkomentar tentang tanda syakl yang tidak ada pada awalnya namun kemudian dibuat berdasarkan ijtihad para ulama. Ia menyatakan bahwa hal ini menciptakan celah bagi pembaca untuk membacanya sesuai dengan interpretasi mereka sendiri. Menurut leksikografi, kedua bentuk ini sah dalam setiap ayat. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa alasan utama orientalis menolak qiraat dan Al-Qur’an adalah karena mereka meragukan keaslian penambahan atau perubahan bentuk manuskrip Al-Qur’an itu sendiri. Alasan kedua adalah ketidakpercayaan mereka terhadap keabsahan jalur sanad dari suatu periwayatan. Namun, kedua argumen ini dapat dibantah dengan menunjukkan bahwa Al-Qur’an dan periwayatan qiraatnya menggunakan jalur talaqqi yang sangat terjaga. Hanya orang-orang tertentu yang memiliki kemampuan untuk mengemban amanah tersebut.
- QIRA’AT MASA LAMPAU DENGAN MASA SEKARANG, BERBEDA ATAU BERKEMBANG?
Kajian Al-Qur’an di Nusantara dapat ditelaah dari sejarah masuknya Islam ke Nusantara. Perkembangan kajian Al-Qur’an di Nusantara sudah barang tentu berbeda dengan perkembangan yang terjadi di dunia Arab yang merupakan tempat turunya Al-Qur’an, terutama yang disebabkan oleh latar belakang bahasa dan budaya seperti ragam qira’at yang digunakan.
Proses pemahaman Al-Qur’an di Nusantara dimulai terlebih dahulu dengan penerjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa Melayu dan Jawa baru kemudian dilakukan penafsiran yang lebih rinci dan luas. Pandangan pada ilmu qira’at baru diperhatikan dalam pengkajian Al-Qur’an pada awal abad ke-20. Hal ini disebabkan karena ulama nusantara hanya fokus dengan ilmu-ilmu lain dalam penyebaran ajaran Islam.
Pertumbuhan dan perkembangan ilmu qira’at mencapai masa-masa keemasan yang terjadi selama berabad-abad tahun. Pertama, dimulai pada abad pertama hijriyyah hingga abad ke dua hijriyyah, yang mana pada permulaan abad ke dua hijriyyah Ibnu Mujahid sudah mulai memfokuskan pada qira’at sab’ah. Kedua, pada era Imam al-Syatibi yaitu setelah merampungkan magnum opus-nya Hirz al-Amani yang merupakan nuqilan dari kitab al-Taisir karya Abu ‘Amr al-Dani (w. 444H/1052M). Ketiga, yang merupakan puncak keemassan ilmu qira’at pada era Imam Ibn al-Jazari, yang saat ini berhasil menggenapkan qira’at mutawatirah menjadi sepuluh dengan karyanya al-Nasr fi al-Qira’at al-‘Asyr yang kemudian dinadzamkan menjadia Thayyibah al-Nasyr.
Usaha pelestarian qira’at Al-Qur’an di Indonesia ditempuh dengan berbagai cara dan metode. Terdapat dua metode, yaitu metode pengembangan dan pembelajaran sebagai pengetahuan, dan metode pelajaran secara praktik. Pembelajaran secara teoritis dilakukan dengan mengajarkan ilmu qira’at dari sumber-sumber kitab tanpa mempraktikkannya pada pembacaan Al-Qur’an. Contoh-contoh pelafalan bacaan hanya diberikan sekilas sesuai dengan tema yang dibahas, seperti yang pernah ditempuh oleh KH Arwani Amin di ponpes Tebuireng, yang mana pada saat itu masih diasuh oleh KH Hasyim Asy’ari. Beliau saat itu mendalami qira’at sab’ah dari kitab Siraj al-Qari’ al-Mubtadi’ wa Tizkar al-Muqri’ al-Muntahi karya Abu al-Qasim Ali ibn ‘Usman ibn Muhammad yang merupakan kitab syarah dari Hirz al-Amani wa Wajh at-Tahani karya Imam asy-Syatibi atau lebih terkenal dengan sebutan Nazam asy-Syatibiyyah. Beliau hanya mendalami teori dari kitab ini. Praktik dari teori ini baru kemudian dipelajari ketika beliau belajar di ponpes al-Munawwir Krapyak, Yogyakarta oleh KH RM Najib Abdul Qodir (cucu dari KH M Moenawir).
Selain itu, sebagian perguruan tinggi di Indonesia juga mengajarkan ilmu qiraat secara teori, baik sekilas dalam mata kuliah studi Ulumul Qur’an, maupun dalam mata kuliah khusus ilmu qiraat. Teori yang dikemas dalam satu mata kuliah berbobot 2 sks, tentu saja hanya sebatas pengenalan.
Pengajarnya pun minim sekali yang mempunyai sanad, kecuali seperti KH Ahsin Sakho Muhammad dan Ahmad Fathoni yang telah dikenal sebagai pakar qiraat baik secara teoritis maupun praktis. Meskipun demikian, pembelajaran di perguruan tinggi ini cukup berkontribusi dalam melestarikan ilmu qiraat dan menjadikannya lebih dikenal luas.
Selanjutnya, pembelajaran secara praktis. Pembelajaran qira’at sab’ah secara praktik dilaksanakan di pesantren-pesantren maupun di kediaman ahli yang telah bersanad. Di antara pesantren yang melaksanakan pembelajaran ini ialah PP Al-Munawwir Krapyak-Yogyakarta, PP Yanba’ul Qur’an Kudus, PP al-Raudhah Mardhiyah Kudus, PP Maunah Sari Kediri, PP Manba’aul Huda Krasak-Banyuwangi, dan pesantren lain yang disebutkan oleh Urwah dalam penelitiannya, yakni PP Qiro’at al-Sab’ah Limbangan Garut, dan PP Dar al-Qur’an Cirebon. Pengajaran serupa juga sempat dilakukan di PP al-Hikam Depok, antara tahun 2011-2015.
Perlu dicatat bahwa pembelajaran secara praktis bukan berarti menginggalkan teori, melainkan menekankan pembelajarannya kepada praktik. Sebelum masuk ke tahapan praktik, para penghafal qiraat tetap mempelajari teori-teori ilmu qiraat yang dibutuhkan. Pembelajaran ini bisa dikatakan sebagai pelestarian qiraat yang sesungguhnya karena tidak berhenti pada teori saja sebagaimana yang diterapkan oleh pembelajaran teoritis. Terlebih bila pembelajaran ini mensyaratkan hafal 30 juz terlebih dahulu, dan dilaksanakan dengan proses talaqqi antara murid dengan gurunya.
Sumber rujukan qira’at sab’ah di Indonesia antara lain kitab Siraj al-Qari Hirz al-Amani atau Nadzam al-Syathibiyyah, baik untuk pembelajaran yang bersifat pengetahuan maupun praktik. Namun demikian, pembelajaran praktik qira’at sab’ah lazim menggunakan kitab Faidhul barakat fi sab’ al-Qira’at karya KH Arwani Amin, dan kitab Manba’ al-Barakat min Sab’ al-Qira’at yang disusun oleh KH Ahsin Sakho Muhammad. Kemudian, pembelajaran qiraat secara praktis di Indonesia secara umum dapat dipetakan lagi menjadi dua, yaitu pembelajaran parsial dan pembelajaran keseluruhuan. Dikatakan parsial apabila yang dipelajari hanya beberapa ayat atau bagian dari Al-Qur’an, bukan keseluruhan ayat. Pembelajaran parsial ini biasanya dilakukan untuk tujuan tertentu, seperti MTQ cabang qiraat. Sedangkan, pembelajaran atas keseluruhan ayat biasanya dilakukan di pesantren-pesantren tahfiz.
Pembelajaran qiraat secara keseluruhan pada ayat Al-Qur’an, ada yang dilakukan dengan sistem sorogan, dan ada pula yang dilakukan dengan sistem bandongan. Sistem bandongan dilakukan oleh seorang guru dalam mengajarkan qira’at kepada murid-muridnya secara komunal atau berkelompok. Sistem ini diaplikasikan oleh KH Nawawi di Pesantren An-Nur Bantul Yogyakarta. Sistem ini cukup efektif dari segi waktu karena dalam satu waktu dapat mengajarkan qira’at kepada beberapa orang sekaligus.
Berbeda dari sistem bandongan, sistem sorogan dalam proses talaqqi (setoran) qiraat dilaksanakan secara individual di hadapan guru secara intens, sehingga dengan metode ini tidak akan ada satu ayat pun yang tertinggal dari perhatian gurunya. Tidak berlebihan jika proses ini dianggap lebih mendekati apa yang disebut dengan orisinalitas qira’at al-qur’an dari aspek persambungan sanad antara murid dengan gurunya hingga ke Rasulullah SAW. Oleh karenanya model ini banyak diterapkan dan dipertahankan oleh mayoritas pesantren yang mengajarkan ilmu qiraat, khususnya pesantren yang mempunyai jalur sanad qiraat dari KH Munawwir.
Selain di lingkungan pesantren, lingkungan perguruan tinggi juga berpotensi menjadi tempat pengembangan tradisi pembelajaran dan pengahafalan qira’at sab’ah.
Di Indonesia, konsentrasi kajian terhadap ilmu qiraat di lembaga perguruan tinggi mendapatkan momentum pada dekade 1970-an. Yaitu, dengan berdirinya Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ) dan Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) yang khusus mengajarkan Ummul Qur’an, termasuk di dalamnya ilmu qiraat. Hingga akhirnya ilmu qira’at semakin dikenal di Indonesia.