Disusun oleh:
Mahasiswa Universitas Islam Negeri Kudus Fakultas Ushuluddin Prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir:
1.Eka Apriliyana
2. Muhammad katsifud Duril Abkhar
3. Nila Aini Rahmawati
4. Rahmawati
5. Mohammad Umar Said
6. Novirotul Muakhiroh
7. Michele Diva
Kajian mengenai pengaruh tradisi Yahudi-Kristen dan proses transmisi Al-Qur’an dari masa wahyu hingga kodifikasi menjadi salah satu topik yang sering dibahas, baik oleh orientalis maupun sarjana Muslim. Meski umat Islam meyakini bahwa Al-Qur’an adalah kitab suci yang terjaga dari perubahan, keyakinan ini sering dipertanyakan secara ilmiah. Akibatnya, muncul berbagai upaya untuk mengkaji ulang teks dan sejarah Al-Qur’an secara lebih mendalam.
Nama-nama seperti Arthur Jeffrey, Theodor Noldeke, Caetani, Schwally, Mingana, John Wansbrough, Richard Bell, Montgomery Watt, Toshihiko Izutsu, Alford Welch, Daniel Madigan, dan Kenneth Cragg menjadi tokoh utama dalam kajian orientalis tentang Al-Qur’an. Pemikiran mereka tersebar dalam jurnal dan buku, menimbulkan berbagai reaksi. Ada yang menolak pandangan mereka dengan keras, ada yang mencoba menanggapinya secara kritis dan proporsional, dan ada pula yang memilih bersikap tidak peduli.( Khoeron, M. 2010)
Artikel ini bertujuan menyoroti bagaimana sarjana Muslim merespons kajian orientalis tentang teks dan sejarah Al-Qur’an. Di antara tokoh yang dibahas adalah Fazlur Rahman, penulis Major Themes of the Qur’an, serta Muhammad Mustafa A’zami, penulis The History of The Qur’anic Text From Revelation to Compilation. Keduanya memberikan pandangan kritis terhadap hasil kajian orientalis, sekaligus menegaskan keotentikan Al-Qur’an.
Posisi Orientalisme Dalam Kajian Keislaman
Orientalisme berasal dari kata “orient” yang berarti Timur dalam bahasa Latin dan beberapa bahasa Barat lainnya. Istilah ini merujuk pada kajian berbagai aspek kehidupan bangsa Timur, seperti agama, bahasa, ilmu pengetahuan, sastra, dan seni. Secara umum, orientalisme digunakan untuk menggambarkan studi tentang hal-hal yang berkaitan dengan dunia Timur.
Dunia Timur sendiri mengacu pada wilayah yang oleh orang Eropa Barat dianggap meliputi bangsa-bangsa di sebelah timur benua Eropa. Wilayah ini biasanya dibagi menjadi tiga bagian: Timur Dekat, Timur Tengah, dan Timur Jauh.
Di Dunia Barat, orientalisme sebenarnya jarang diajarkan sebagai mata kuliah tersendiri di universitas. Gelar “orientalis” juga tidak banyak digunakan. Istilah ini lebih sering muncul dalam konferensi internasional yang biasanya diadakan setiap dua atau tiga tahun sekali. Di samping itu Orientalisme telah menjadi sorotan tajam dan bahkan dianggap sebagai bentuk serangan oleh sejumlah kalangan Timur, dengan berbagai alasan berikut::
Kaitannya dengan Kolonialisme
Para orientalis, yang disebut mustasyriqūn dalam istilah Arab, kerap dikritik karena dianggap sebagai pendukung kolonialisme masa lalu atau neokolonialisme masa kini. Kajian mereka tentang dunia Timur dinilai sebagai upaya untuk mendukung kepentingan politik bangsa Eropa.
Tuduhan Kristenisasi
Orientalis sering dituduh memiliki agenda tersembunyi untuk menyebarkan Kristenisasi secara halus atau setidaknya melemahkan Islam sebagai agama.
Kaitan dengan Zionisme
Kritik juga diarahkan kepada orientalis yang dianggap mendukung agenda zionisme, yaitu mendukung pendirian negara Yahudi di wilayah Arab pada masa lalu dan memperkuat pengaruhnya di dunia internasional saat ini
Kritik dari Barat
Menariknya, kritik terhadap orientalisme tidak hanya datang dari bangsa Timur tetapi juga dari kalangan Barat sendiri. Sejak tahun 1950-an, banyak sarjana, terutama di Amerika, mulai mempertanyakan dan mengkritisi pendekatan orientalisme.
Meskipun sering mendapat kritik, orientalisme juga memberikan kontribusi positif bagi umat Islam. Orientalis berperan dalam mengedit dan menerbitkan karya-karya warisan Islam, menyusun katalog manuskrip keislaman, menyebarkan metode penelitian ilmiah, serta menyusun buku-buku indeks yang memudahkan kajian ilmiah.
Namun, dalam bidang kajian Al-Qur’an, orientalis sering dianggap berusaha memengaruhi pandangan umat Islam, terutama terkait keotentikan Al-Qur’an sebagai wahyu dan pedoman hidup. Hal ini terlihat dari isu-isu yang dibahas dalam tulisan ini, yaitu tentang sejarah dan teks Al-Qur’an.
Kajian atas Karya Orientalis
Kajian orientalis tentang Al-Qur’an terus berkembang sejak awal dengan fokus utama pada tiga tema, sebagaimana dijelaskan oleh Fazlur Rahman:.
Pengaruh Yahudi-Kristen dalam Al-Qur’an
Karya-karya seperti Judische Elemente im Koran (Hartwig Hirschfeld), Was hat Mohammed aus dem Judenthume Aufgenommen (Abraham Geiger), The Origin of Islam in its Christian Environment (Richard Bell), dan Quranic Studies (John Wansbrough) mengeksplorasi kemungkinan pengaruh tradisi Yahudi-Kristen terhadap isi Al-Qur’an.
Penyusunan Kronologis Ayat-Ayat Al-Qur’an
Beberapa karya, seperti Geschichte des Qorans (Theodor Noldeke dan Friedrich Schwally), Le Probleme de Mohamet (R. Blachere), Materials for the History of the Text of the Qur’an (A. Jeffery), dan The Collection of the Qur’an (John Burton), berusaha mengurutkan ayat-ayat Al-Qur’an secara kronologis untuk memahami sejarah teksnya.
Analisis Isi dan Aspek-Aspek Al-Qur’an
Karya seperti Die Richtungen der Islamischen Koranauslegung (Ignaz Goldziher), The Event of the Qur’an (Kenneth Cragg), dan God and Man in the Koran (Toshihiko Izutsu) membahas makna keseluruhan atau aspek-aspek tertentu dalam Al-Qur’an.
Dari tiga tema tersebut, kategori pertama dan kedua dianggap paling berpengaruh dalam diskusi antara orientalis dan sarjana Muslim. kita bisa mempelajarinya melalui pimikiran Wansbrough dalam bukunya yang mencoba untuk membuktikan tiga tesa berikut ini. Pertama, bahwa Al-Qur’an adalah kitab sejenis tradition juive karena tercipta di dalam suasana perdebatan sektarian Yahudi-Kristen; Kedua, Al-Qur’an adalah ‘perpaduan’ berbagai tradisi; dan Ketiga, Al-Qur’an adalah sebuah ciptaan setelah kehadiran Muhammad.
Menurut Wansbrough, sumber-sumber non-Islam yang awal membuktikan bahwa keberadaan Al-Qur’an dapat dilacak pada abad kedua Hijrah. Bahkan, sumber-sumber Islam yang awal sendiri, menurut Wansbrough, mengindikasikan bahwa teks Al-Qur’an belum ditetapkan secara total hingga awal abad ketiga. Arthur Jeffery, dalam karyanya Foreign Vocabulary of the Quran, menyebut Al-Qur’an sebagai kitab berbahasa Arab yang dipengaruhi oleh berbagai bahasa asing seperti Ethiopia, Aram, Ibrani, Suryani, Yunani Kuno, Persia, dan lainnya. Ia mengidentifikasi sekitar 275 kosa kata asing yang terdapat dalam Al-Qur’an.
Adapun kronologi ke dua berkenaan dengan Ayat-Ayat Al-Qur’an. Dalam kategori ini, orientalis berpendapat bahwa kronologi ayat-ayat Al-Qur’an menunjukkan diskontinuitas. Menurut Richard Bell, hal ini terjadi karena para penyalin ayat-ayat Al-Qur’an tidak mampu membedakan bagian depan dan belakang materi yang mereka salin. Pandangan ini berhubungan dengan anggapan bahwa Al-Qur’an adalah hasil karya setelah kehadiran Nabi Muhammad. Di sisi lain, John Burton berpendapat bahwa Nabi Muhammad sendiri yang mengedit, memeriksa, dan menyebarkan keseluruhan teks Al-Qur’an.
Dua konten kajian orientalis tersebut rupanya memancing reaksi dari kalangan sarjana muslim dibanding konten kajian orientalis yang bertujuan menjelaskan keseluruhan atau aspek-aspek tertentu saja dalam Al-Qur’an. Fazlur Rahman mensinyalir bahwa kategori ketiga justru kurang memperoleh perhatian dari kalangan orientalis, walaupun ada diantara mereka yang mencurahkan pikiran mereka pada obyek kajian ini. Dijelaskan bahwa ada kemungkinan mereka berasumsi bahwa kaum Muslim sendiri yang harus menyajikan Al-Qur’an sebagaimana yang semestinya.
Tanggapan Fazlur Rahman dan A’zami atas Kajian Orientalis
Fazlur Rahman menyoroti bahwa kajian orientalis mengenai pengaruh Yahudi-Kristen dalam Al-Qur’an sering didasari oleh keinginan untuk membuktikan bahwa Al-Qur’an hanyalah gema agama Yahudi-Kristen dan bahwa Nabi Muhammad hanyalah seorang murid dari tradisi tersebut. Sayangnya, kajian ini jarang membahas keberadaan ide-ide Yahudi-Kristen di Arab sebelum Islam. Menanggapi tesa Wansbrough, yang menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah hasil perpaduan tradisi Yahudi-Kristen yang muncul dalam suasana perdebatan sektarian pasca-Muhammad, Rahman menegaskan bahwa asumsi ini tidak didukung oleh bukti historis yang kuat terkait asal-usul, sifat, atau pelaku tradisi tersebut.
Fazlur Rahman menolak pandangan bahwa Al-Qur’an merupakan hasil perpaduan unsur-unsur yang saling bertentangan, termasuk dalam konteks keberagaman agama. Ia juga mengkritik pendekatan Wansbrough yang memisahkan makna historis dan eskatologis dalam terminologi Al-Qur’an, karena Al-Qur’an sendiri tidak membuat pemisahan semacam itu. Menurut Rahman, kisah-kisah seperti tentang kaum ‘Ad dan Tsamud lebih merupakan gambaran tentang nasib suatu bangsa yang dihancurkan, bukan sekadar ungkapan pesimisme terhadap kefanaan dunia.
Fazlur Rahman menanggapi tuduhan orientalis seperti Richard Bell, yang menganggap adanya diskontinuitas dalam ayat-ayat Al-Qur’an akibat ketidakmampuan penyalin membedakan urutan ayat, dengan menegaskan bahwa kronologi seperti yang diajukan Richard Bell tidak mungkin diterapkan. Ia juga mengkritik kronologi versi R. Blachère, yang dianggap terlalu subjektif karena hanya didasarkan pada interpretasi psikologi Nabi Muhammad. Menurut Rahman, Al-Qur’an itu sendiri adalah bukti terbaik untuk membantah pandangan-pandangan semacam itu. senada dengan pendapat Rahman kami menguatkan pendapat dengan mengutip dari Tafsir Al-Wajiz karya Syaikh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, pakar fiqih dan tafsir negeri Suriah. Pada Q.S An-Nisa’ ayat 82
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ ٱلْقُرْءَانَ ۚ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ ٱللَّهِ لَوَجَدُوا۟ فِيهِ ٱخْتِلَٰفًا كَثِيرًا
Artinya: Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.
pada ayat di atas, Syaikh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili menafsirkan bahwa Apakah mereka tidak memahami Al-Qur’an dan merenungi makna, hikmah dan pelajarannya?! Jika mereka mau mentadabburinya maka sungguh mereka akan mendapati Al-Qur’an itu selaras antara satu dengan lainnya. Jika Al-Qur’an itu dari kalam manusia, maka mereka akan mendapatinya akan saling berbeda dan mengandung banyak pertentangan.
Berbeda dengan Rahman, A’zami menggunakan pendekatan analisis perbandingan antara Al-Qur’an, Perjanjian Lama, dan Perjanjian Baru untuk secara lebih rinci membantah tesis Wansbrough. Ia secara langsung menjawab berbagai tuduhan yang sering dilontarkan oleh kalangan orientalis. Menurut A’zami, terdapat empat aspek utama yang dijadikan sebagai pintu masuk oleh orientalis dalam menyerang Al-Qur’an:
Pertama, menghujat penulisan Al-Qur’an dan kompilasinya. Terkait dengan ini, beberapa pertanyaan dikembangkan oleh para orientalis. Di antaranya, kenapa jika Al-Qur’an sudah ditulis sejak zaman Nabi, Umar merasa khawatir akan kematian para huffadz dalam peperangan Yamamah? Mengapa bahan yang ditulis tidak disimpan oleh Nabi sendiri?
Al-A’zami menjawab tuduhan semacam ini dengan mengemukakan hukum persaksian. Menurutnya, misalnya ada, Nabi tidak menyerahkan naskah kepada sahabat untuk dijadikan pedoman, karena merasa bahwa turunnya Al-Qur’an masih terus berproses (masih ada kemungkinan nasikh-mansukh dan wahyu baru). Kenapa Umar takut kehilangan Al-Qur’an? Karena tradisi penurunan Al-Qur’an melalui otoritas yang saling beruntun, mulai dari Nabi hingga sahabat. Dan kematian mereka mengancam terputusnya kesaksian
Kedua, merubah istilah Islam dengan ungkapan asing. Ini setidaknya banyak terjadi dalam wilayah fiqih dan tafsir. Di wilayah fiqih misalnya, Schacht dalam bukunya, Introduction of Islamic Law, membagi fiqih Islam dalam tema person, property, obligation in general, dan lain sebagainya. Dalam wilayah tafsir, Wansbrough membagi Quranic Studies dalam tema Principles of Exegesis, Masoretic Exegesis, Hagadic Exegesis, dan sebagainya.
Ketiga, melontarkan tuduhan bahwa Islam (Al-Qur’an) merupakan bentuk pemalsuan dari Yahudi-Kristen. Dalam konteks ini, A’zami memberikan jawaban sebagai berikut:
Terkait dengan tuduhan adanya penyesuaian kata yang merusak sebagaimana dilontarkan oleh Noldeke bahwa kekeliruan Al-Qur’an karena kebodohan Muhammad tentang sejarah awal agama Yahudi. A’zami memberikan jawaban bahwa itu merupakan tuduhan yang hendak mengubah wajah Islam dengan istilah orang lain. Berkesimpulan bahwa Fir’aun tidak mempunyai seorang menteri bernama Haman hanya karena tidak disebut pada kitab suci terdahulu misalnya, adalah sebuah kecerobohan.
Terkait dengan tuduhan Hirschfeld bahwa Al-Qur’an adalah Injil palsu disebabkan penolakannya terhadap informasi Perjanjian Baru tentang dua doktrin utama dalam Kristen tentang dosa warisan dan penebusannya, A’zami memberikan jawaban dengan menyitir beberapa ayat Al-Qur’an (Q.S. al-Baqarah/2: 37, al-An‘am/6: 164, al-Ikhlas/112: 1-4, dan al-Fatihah/1: 1-2).
Keempat, sengaja mengubah atau memalsukan Al-Qur’an. Bagi A’zami tuduhan orientalis tentang kronologi Al-Qur’an mengarah pada usaha untuk mengubah Al-Qur’an. Upaya Flugel, Blachere, dan Mingana menjadi bukti betapa kuat keinginan mereka untuk merubah dan merusak Al-Qur’an.
Dari semua itu, A’zami sampai pada kesimpulan bahwa Schacht, Wansbrough, Noldeke, dan orientalis lainnya, walaupun dalam batas-batas tertentu mengalami perbedaan, namun pasti melakukan kecurangan jika ingin sukses dalam memalsukan Al-Qur’an.
PENUTUP
Sebagai penutup, penting bagi kita untuk menyadari bahwa Al-Qur’an terus menjadi objek kajian yang menarik perhatian, baik dari kalangan Muslim maupun non-Muslim, dengan berbagai motivasi dan pendekatan yang berbeda. Perbedaan epistemologi, metodologi, bahkan tujuan, menambah keragaman warna dalam memahami kitab suci ini. Oleh karena itu, dialog objektif dan konstruktif menjadi sangat penting untuk menempatkan Al-Qur’an pada posisi yang semestinya dalam dunia akademik maupun spiritual.
Kajian mendalam terhadap teks dan sejarah Al-Qur’an tidak hanya bertujuan untuk menggali dimensi-dimensi baru yang mungkin selama ini terabaikan, tetapi juga menjadi landasan intelektual bagi kaum Muslim untuk memahami kitab suci yang menjadi sumber hukum dan nilai moral mereka. Dalam konteks ini, karya-karya para sarjana Barat, termasuk orientalis, menawarkan perspektif yang dapat memperkaya pemahaman kita, terutama tentang periode awal sejarah Islam.
Langkah yang diambil oleh tokoh-tokoh seperti A’zami dan Fazlur Rahman menjadi contoh inspiratif bagaimana merespons karya-karya Barat dengan pendekatan intelektual yang matang. Alih-alih hanya melontarkan kritik tanpa dasar, mereka memilih untuk melibatkan diri dalam dialog akademik yang berkualitas. A’zami, misalnya, dengan karyanya On Schacht’s Origins of Muhammadan Jurisprudence, memberikan tanggapan ilmiah yang bernilai terhadap studi Joseph Schacht. Begitu pula Fazlur Rahman, melalui bukunya Tema Pokok Al-Qur’an, berupaya memberikan klarifikasi dan menghadirkan alternatif yang memperkaya diskursus keislaman.
Dengan demikian, jika kita ingin menghadapi atau bahkan memperkaya khazanah intelektual yang ada, seyogianya kita meniru semangat mereka: menjawab tantangan dengan karya yang berbobot dan bernilai ilmiah tinggi. Ini adalah langkah yang tidak hanya relevan untuk mempertahankan integritas akademik kita, tetapi juga untuk mendorong pemahaman yang lebih mendalam terhadap Al-Qur’an dan sejarah Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Fahrizi, Nur, and Muhammad Zubir. “HISTORITAS DAN OTENTISITAS AL-QUR’AN (STUDI KOMPARATIF ANTARA ARTHUR JEFFERY DENGAN MANNA’ AL- QATHAN).” QiST: Journal of Quran and Tafseer Studies 1, no. 2 (August 8, 2022): 183–222. https://doi.org/10.23917/qist.v1i2.1113.
Fanani, Muhammad Adip, Ach Fawaid, and M. Iqbal Abdurrohman. “Fazlur Rahman’s Approach to the Major Themes of the Qur’an and Western Interpretation of the Qur’an.” AL-IKHSAN: Interdisciplinary Journal of Islamic Studies 2, no. 1 (April 3, 2024): 20–32. https://doi.org/10.61166/ikhsan.v2i1.41.
Khoeron, Mohammad. “Kajian Orientalis Terhadap Teks Dan Sejarah Al-Qur’an Tanggapan Sarjana Muslim.” SUHUF 3, no. 2 (November 16, 2010): 235–49. https://doi.org/10.22548/shf.v3i2.104.
———. “Kajian Orientalis Terhadap Teks Dan Sejarah Al-Qur’an Tanggapan Sarjana Muslim.” SUHUF 3, no. 2 (November 16, 2010): 235–49. https://doi.org/10.22548/shf.v3i2.104.
Kusuma, Agung Perdana. “Kajian Sarjana Barat Non Muslim John Wansbrough tentang Salvation History (Sejarah Penyelamatan) terhadap Al-Qurān,” 2020. https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/handle/123456789/56927.
Masduqi, Irwan. Ketika Nonmuslim Membaca Al-Quran. Bentang Pustaka, 2016.
Rahman, Fazlur. Tema-Tema Pokok Al-Quran. Al Mizan, 2018.
“Sejarah Teks Al-Quran Dari Wahyu Sampai Kompilasi: Kajian Perbandingan … – Muḥammad Muṣṭafá A‘ẓamī – Google Buku.” Accessed December 10, 2024. https://books.google.co.id/books?hl=id&lr=&id=9_tPRiD9XFEC&oi=fnd&pg=PA1&dq=Terkait+dengan+tuduhan+adanya+penyesuaian+kata+yang+merusak++sebagaimana+dilontarkan+oleh+Noldeke+bahwa+kekeliruan+Al%3FQur%27an+karena+kebodohan+Muhammad+tentang+sejarah+awal++agama+Yahudi&ots=psm71HSY1k&sig=82-VYg-ThPZyYNWGkvSz3JKVqPI&redir_esc=y#v=onepage&q&f=false.
Sholihah, Izzatus. “KAJIAN HADITS PERSPEKTIF ORIENTALIS.” SAMAWAT: JOURNAL OF HADITH AND QURANIC STUDIES 6, no. 1 (September 14, 2022). https://ejournal.badrussholeh.ac.id/index.php/samawat/article/view/323.
“Studi Islam Pendekatan Dan Metode [K2kn58pd382y].” Accessed December 10, 2024. https://vbook.pub/documents/studi-islam-pendekatan-dan-metode-k2kn58pd382y.
Referensi : https://tafsirweb.com/1614-surat-an-nisa-ayat-82.html