Glorifikasi Stres dalam Akademik: Saatnya Berhenti Menormalisasi Tekanan Berlebihan
Di dunia akademik, banyak mahasiswa dan dosen percaya bahwa stres adalah bagian tak terhindarkan dari kesuksesan. Bahkan, beberapa tenaga pendidik berpendapat bahwa “stres itu sangat perlu. Malah bahaya kalau tidak ada stres.” Pernyataan ini mungkin terdengar seperti motivasi inspiratif, tetapi benarkah demikian?
Memasuki semester genap, lingkungan akademik kembali dihadapkan pada rutinitas yang penuh dengan tuntutan akademik. Mahasiswa kembali bergulat dengan tugas dan ujian, sementara dosen menghadapi berbagai kewajiban akademik dan administrasi. Dalam kondisi ini, anggapan bahwa stres itu perlu semakin mengakar.
Namun, apakah benar bahwa tanpa stres seseorang tidak bisa berkembang? Ataukah ini justru bentuk misleading positivity yang perlu dikritisi?
Apa Itu Stres?
Sebelum membahas apakah stres benar-benar “perlu,” kita harus memahami apa itu stres secara ilmiah.
Dalam psikologi, stres adalah respons tubuh dan pikiran terhadap tuntutan atau tekanan dari lingkungan (Lazarus & Folkman, 1984). American Psychological Association (APA) mendefinisikan stres sebagai:
“Reaksi fisiologis dan emosional terhadap situasi yang dianggap menantang, mengancam, atau di luar kendali seseorang.”
Stres dapat berasal dari dua sumber utama:
- Stresor eksternal → Misalnya, tuntutan akademik, pekerjaan, konflik sosial, atau masalah keuangan.
- Stresor internal → Pikiran negatif, ekspektasi tinggi terhadap diri sendiri, atau rasa takut gagal.
Meskipun perbedaan antara eustress (stres positif) dan distress (stres negatif) sering digunakan untuk membenarkan pentingnya stres, pandangan ini tetap bermasalah karena mengabaikan fakta bahwa seseorang dapat berkembang tanpa tekanan berlebihan.
Mengapa Narasi “Stres Itu Sangat Perlu” Itu Menyesatkan?
Jika seseorang mengatakan, “Stres itu sangat perlu. Malah bahaya kalau tidak ada stres,” maka ada beberapa hal yang perlu dikaji:
1. Stres bukan syarat bertahan hidup
- Banyak orang dapat hidup produktif dan berkembang tanpa harus mengalami stres berat.
- Stres bukanlah satu-satunya alat ukur keberhasilan.
2. Pertumbuhan bisa terjadi melalui eksplorasi, bukan hanya tekanan
- Tidak semua orang berkembang karena stres.
- Banyak individu bertumbuh melalui inspirasi, refleksi, atau dukungan sosial.
3. Glorifikasi stres bisa berujung pada burnout
- Jika seseorang percaya bahwa stres itu wajib, mereka bisa terjebak dalam hustle culture yang merusak kesehatan mental.
- Maslach & Leiter (2016) menemukan bahwa stres kronis dalam lingkungan akademik justru menurunkan produktivitas dan kreativitas.
Kesimpulannya, yang lebih penting bukan apakah seseorang mengalami stres atau tidak, tetapi bagaimana mereka merespons tantangan dengan cara yang sehat.
Misleading Positivity: Ketika Stres Dibenarkan Berlebihan
Dalam psikologi, terdapat konsep misleading positivity, yaitu gagasan yang tampak motivatif tetapi sebenarnya menyesatkan.
Contoh misleading positivity dalam akademik:
- “Semakin stres, semakin sukses!”
- “Kalau nggak stres, berarti nggak berusaha cukup keras!”
- “Akademisi harus terbiasa stres, itu bagian dari profesionalisme.”
Mengapa ini berbahaya?
- Menormalisasi budaya kerja berlebihan.
- Membuat individu merasa bersalah jika mereka ingin beristirahat.
- Menciptakan toxic positivity, di mana emosi negatif ditekan dan tidak divalidasi.
Jika lingkungan akademik terus menormalisasi stres sebagai kewajiban, mahasiswa dan dosen bisa terjebak dalam pola pikir yang berbahaya: merasa bersalah ketika mereka mencoba menjaga keseimbangan hidup.
Dampak Akademik: Dari Budaya Toxic ke Bullying Terselubung
Ketika misleading positivity berkembang tanpa batas, ini dapat berujung pada bullying akademik terselubung:
- Mahasiswa bisa merasa bersalah jika tidak stres.
- Dosen rentan dipaksa untuk terus produktif tanpa jeda.
- Akademisi muda yang mengeluh malah dianggap lemah.
Jika hal ini terus dibiarkan, maka dunia akademik tidak lagi menjadi ruang pertumbuhan, melainkan medan perang bertahan hidup.
Kesimpulan: Saatnya Mengubah Cara Pandang tentang Stres
- Stres adalah bagian alami dari hidup, tetapi bukan sesuatu yang harus dicari atau diwajibkan.
- Pertumbuhan dapat terjadi melalui berbagai cara, tidak hanya melalui tekanan.
- Dunia akademik harus menghentikan glorifikasi stres dan mulai membangun keseimbangan yang sehat.
“Jika kita ingin membangun akademisi yang lebih sehat dan produktif, kita harus berhenti menyederhanakan stres sebagai sesuatu yang ‘perlu’ dan mulai memahami bahwa kesejahteraan mental juga bagian dari kesuksesan.”
Penulis: Ruth NS, Dosen Psikologi UMK, Founder PhiliaTalks