Dari Ketergantungan Menuju Kemandirian: Pentingnya Terapi Okupasi bagi Anak Tunagrahita
Penulis : Intan Rosalia, Mahasiswi Fakultas Psikologi, Universitas Muria Kudus
Anak-anak tunagrahita sering kali menghadapi berbagai tantangan dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam hal kemandirian. Mereka mengalami hambatan dalam kemampuan mengurus diri sendiri, yang mencakup aktivitas dasar seperti makan, minum, menjaga kebersihan diri, berpakaian, serta keselamatan diri dan orientasi ruang (Jafri et al., 2019). Menurut penelitian yang dilakukan oleh WHO (2002), ketergantungan dalam perawatan diri menjadi salah satu masalah terbesar dalam kesehatan global, di mana anak-anak tunagrahita sering kali kesulitan dalam melakukan kegiatan harian yang esensial (Rahmati et al., 2012). Oleh karena itu, penting untuk meningkatkan dan mengoptimalkan kemampuan kegiatan sehari-hari pada anak-anak ini (Astati, 1995).
Anak-anak yang mengalami tunagrahita juga mungkin mengalami kesulitan dalam berkomunikasi, berinteraksi sosial, dan melakukan aktivitas mandiri. Namun, dengan pendekatan yang tepat, seperti terapi okupasi, mereka dapat mengembangkan keterampilan yang diperlukan untuk meningkatkan kemandirian dan kualitas hidup mereka.
Apa Itu Terapi Okupasi?
Terapi okupasi, menurut World Federation of Occupational Therapy, adalah disiplin ilmu kesehatan yang memberikan terapi kepada individu yang mengalami kecacatan fisik dan mental, baik yang bersifat sementara maupun menetap (Ilah Padhila et al., 2023). Terapi ini bertujuan untuk membantu anak tunagrahita mengembangkan kemampuan yang dimiliki, seperti mengurus diri, merawat diri, keterampilan berkomunikasi, keterampilan bersosialisasi, serta keterampilan dalam mengisi waktu luang (Sudrajat dan Rosida, 2013).
Program bina diri dalam terapi okupasi merupakan latihan yang berbentuk bimbingan dan pelatihan kepada anak berkebutuhan khusus, terutama pada anak tunagrahita, untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka secara mandiri. Hal ini sangat penting agar mereka dapat beradaptasi dengan baik di lingkungan masyarakat (Sudarsini, 2017).
Bentuk Terapi Okupasi atau Bina Diri
Dalam terapi okupasi, terdapat beberapa istilah yang sering digunakan, seperti activities of daily living (ADL), mengurus diri (self-care), dan menolong diri (self-help) (Putri, 2014). Menurut pendapat Kirk mengemukakan bahwa self care dimaksudkan sebagai keterampilan awal yang diajarkan orang tua kepada kehidupan anak sedini mungkin, sebagai usaha memandirikan mereka pada keterampilan ini mencakup aktivitas dasar seperti makan, mobilitas, perilaku toilet dan membasuh/ mencuci serta berpakaian (Putri, 2014). Selain itu, Self-help skills menurut Yuli dan Carr adalah kemampuan menolong diri sendiri yang diajarkan kepada anak tunagrahita antara lain adalah: kebersihan, menggosok gigi, makan, berpakaian dan menggunakan toilet (Putri, 2014).
Beberapa contoh kegiatan yang dapat dilakukan dalam terapi okupasi meliputi:
- Kebersihan Diri: Mengajarkan anak urutan yang benar dalam mandi menggunakan media visual seperti video animasi atau gambar. Hal ini membantu anak memahami dan mempraktikkan kebersihan diri.
- Memilih Pakaian: Mengajarkan anak untuk memilih pakaian sendiri, yang dapat meningkatkan kepercayaan diri mereka.
- Latihan Motorik Halus: Kegiatan seperti mengancingkan baju, menali sepatu, dan merapikan rambut dapat membantu anak melatih keterampilan motorik mereka.
- Kebersihan Saat Makan: Mengajarkan anak untuk mencuci tangan sebelum makan dan bersikap sopan saat makan seperti tidak berbicara saat mulut penuh.
- Mengisi Waktu Luang: Kegiatan seperti menulis, menggambar, mewarnai, dan bermain puzzle, bermain bola atau lompat tali atau aktivitas lainnya yang anak sukai yang berdampak positif sehingga diharapkan dapat meningkatkan kemampuan kognitif dan motorik anak jika dilakukan secara rutin.
Peran orang tua sangat penting dalam melatih kemandirian anak tunagrahita. Melibatkan anak dalam berbagai aktivitas sehari-hari dan mendorong mereka untuk mencoba melakukan hal-hal sederhana secara mandiri dapat memberikan dampak positif.
Dengan pendekatan yang tepat dan dukungan yang konsisten, anak-anak tunagrahita dapat berkembang menjadi individu yang lebih mandiri dan percaya diri. Terapi okupasi bukan hanya sekadar metode rehabilitasi, tetapi juga merupakan langkah penting menuju kemandirian dan kualitas hidup yang lebih baik bagi anak-anak ini.
Referensi:
- Ilah Padhila, N., Iftitah Alam, R., Keperawatan, I., & Kesehatan Masyarakat, F. (2023). Pengaruh Terapi Okupasi terhadap Perkembangan Motorik Halus pada Anak Berkebutuhan Khusus. In Window of Nursing Journal (Vol. 4, Issue 2).
- Jafri, Y., Nabella, E. P., Stikes, N. N., & Padang, P. (2019). Terapi Okupasi Bina Diri Terhadap Kemandirian Pada Anak Tunagrahita. In Prosiding Seminar Kesehatan Perintis E (Vol. 2, Issue 1).
- Lisinus Ginting, R., et al. (2023). Penanganan Anak Tunagrahita dalam Bentuk Terapi Okupasi Bina Diri. 3(2), 22–34.
- Putri, N. L. (2014). Model Pembelajaran Keterampilan Bina Diri Bagi Anak Usia Dini Tunagrahita. Parameter: Jurnal Pendidikan Universitas Negeri Jakarta, 25(2), 73–85.
- Rahmati, D., Allenidekania, & Besral. (2012). Jurnal Keperawatan Indonesia, 15.
Dengan artikel ini, diharapkan masyarakat dapat lebih memahami pentingnya terapi okupasi bagi anak tunagrahita dan mendukung upaya untuk meningkatkan kemandirian mereka.