
Pihak pengembang properti menyambut baik rencana untuk longgarkan LTV atau Loan To Value sehingga dapat meringankan biaya down payment (DP) rumah menjadi hanya 15 persen. Bahkan, ada juga yang mengusulkan untuk menghapuskan DP rumah atau menurunkannya ke angka 5% untuk kepemilikan rumah pertama.
Jika DP KPR dipangkas, hal ini dapat membantu masyarakat. Saat ini, DP rumah masih harus sebesar 20% dari harga rumah. Jika harus ingin membeli rumah dijual di Jakarta seharga Rp 300 juta, tentu calon pembeli harus menyiapkan uang sebanyak Rp 60 juta dan cicilan sebesar Rp 2,7 juta per bulan.
Bila DP KPR dapat diturunkan hingga 5 persen, pembeli hanya butuh membayarkan dana sebesar Rp 15 juta dengan cicilan Rp 3 juta per bulan. Hal ini diklaim sebagai harga yang masih dapat dijangkau oleh masyarakat.
Wacana untuk menghapuskan DP rumah sendiri dinilai terlalu berisiko oleh para ekonom perbankan. Hal tersebut berisiko untuk menciptakan gelembung atau “bubble” properti dan dapat merusak kestabilan sistem perbankan di Indonesia. Hal ini diprediksi akan terjadi mengingat tren rasio kredit macet atau non-performing loan (NPL) cenderung meningkat saat ini. Hal ini tentunya juga dapat meningkatkan risiko kredit jika nantinya LTV dilonggarkan ke angka 100 persen.
Namun tentunya BI juga akan terus mengevaluasi aturan LTV jika sekiranya aturan tersebut juga masih belum bisa mendorong permintaan kredit. Pelonggaran kebijakan moneter dan makroprudensial tapi belum akan optimal jika demand dari masyarakat juga masih rendah karena lemahnya daya beli masyarakat.
Pengecualian untuk kredit kepemilikan rumah (KPR) bersubsidi dengan luas di bawah 70 meter persegi. Pada permintaan hunian tersebut, masih terjadi backlog di mana permintaan lebih tinggi dibandingkan dengan pasokan yang ada.
Kini masyarakat cenderung menabung dengan cara mengurangi pola konsumsinya. Karenanya, diharapkan kebijakan tax amnesty yang akan mulai pada Oktober nanti akan dapat kembali meningkatkan investasi sektor properti.
Namun demikian, masih lemahnya likuiditas sisi perbankan tetap akan menghadapi risiko missmatch. Bahkan, para bank yang agresif membiayai KPR pun akan berisiko menghadapi hal yang sama antara viabilitas dalam jangka pendek dan KPR tenor panjang. Likuiditas terlemahkan oleh pertumbuhan dana pihak ketiga yang rendah.